MEMANGGIL.CO - Langit Kota Blora yang cerah dan benderang, tiba-tiba agak redup dan mendung pada Senin 19 Mei 2025. Langit yang redup dan mendung seperti menjadi pertanda kabar duka.

Ya. Kabar duka menyelimuti Kabupaten Blora. Anggota DPRD Kabupaten Blora sekaligus tokoh agama setempat, KH Ahmad Labib Hilmy yang akrab disapa Gus Labib meninggal dunia, Senin 19 Mi 2025 sekitar pukul 02.00 WIB. Santri muda putra dari Pengasuh Pondok Pesantren Khozinatul Ulum KH Muharror Ali ini, telah pergi dengan beragam kenangan dan cerita.

Di balik ketenaran dan juga sikap yang ramah Gus Labib, ada banyak cerita menarik dari kehidupan sehari-hari dan masa kecilnya. Tumbuh dari lahir dan besar berada di lingkungan Pondok Pesantren, tepatnya di Pesantran Khozinatul Ulum, Blora.

Adalah, Hajah Nyai Umi Hanik, Ibunda dari Gus Labib. Dalam sebuah nukilan buku Ngaji Bareng Abah Yai terbitan Pondok Pesantren Khozinatul Ulum. Ada banyak cerita menarik dari sosok Gus Labib dan juga para alumni santri-santriwati Pondok Pesantren Khozinatul Ulum, Blora. Setidaknya jika kelak berumah tangga atau sudah berumah tangga dan mengurus anak.

Diceritakan dari ngendikane (nasihat) Hajah Nyai Umi Hanik. "Kalau saya itu ya, nek anak-anak masih kecil-kecil itu, mesti saya belajari akhlak boso (berbicara). Boso kromo inggil (berbahasa Jawa halus) itu penting.”

Menurut Hajah Nyai, kalau anak itu sama orang tuanya itu, lain dengan yang boso ngoko sama boso kromo inggil (bahasa Jawa sehari-hari dengan bahasa Jawa halus) kan lain. Mesti berbeda to. Kromo inggilkan agak (mendekati) halus. Itu yang saya mengajarnya lewat yang momong.

Jadi yang momong (yang mengasuh) itu harus boso. Bahasakno sembarang ndengah (membahasakan semua hal) bohoso kromo inggil (berbahasa jawa dengan halus).

Jadi kalau saya sudah berbicara itu sudah bisa enggeh, mboten (iya, tidak) sudah bisa. Misalnya ibuk dahar (ibu makan), ibuk ngunjuk (ibu minum) sudah bisa gitu. Jadi nanti kalau setelah lima tahun atau TK itu terus belajar Al Quran di TPQ.

Membaca Al Quran, jadi kalau kelas satu kelas dua sudah lancar bacanya nanti kelas tiga sudah khatam qurannya. Biasanya gitu. Terus setelah Al Quran, terus sekolah madrasah. Otomatiskan syariat itu. Karena madrasah kan sudah bisa syariat.

Terus saya kasih pengarahan. Ya saya dongeng-dongeng kalau hafal Al Quran. Seperti itu jadinya anak saya. Jadi keinginan ngapalno (menghafal) itu dari diri dia sendiri. Jadi mengko nek apal quran gini (jadi kalau nanti menghafal Al Quran), didikan saya ya sudah meninggal tidak busuk. Kan anak kecilkan gitu. Karena kalau di kuburan mengko nek dipangan kelabang dan dimakan cacing (kalau di makam nanti kalau dimakan kelabang dan dimakan cacing).

Tetapi kalau hafal quran kan nggak. Nggak berani (kelabang dan cacing) makan gitu. Terus dia pikir-pikir gitu, terusan diceritakan masalah-masalah Al Quran, terus akhirnya Alhamdulillah sudah banyak cita-cita.

Pokoknya setelah SD menghafal dahulu. Cuma kalau yang anak laki-laki memang menghafalnya itu setelah Aliyah. Karena kalau laki-laki kan umurnya nggak terbatas. Sedangkan untuk putri terbatas. Jadi kalau ingin menghafal AL Quran menunggu setelah SD. Selanjutnya setelah hafal baru MTs dan MA. Kemudian terserah sampai kuliah juga begitu. Jadi ketika saatnya akan menikah, anak sudah khatam Al Quran.

Soal nirakti anak, menurut Hajah Nyai Umi Hanik, semua diawali dengan doa. Yaitu semoga saja menjadi anak sholeh dan sholehah. Ceritanya, ketika sowan (berkunjung) ke Mbah Dullah dan ditemui Ibu Nyai. Kepada Nyai Dullah, ditanyakan, bagaimana putranya Mbah Dullah itu semuanya tujuh. Dan semuanya adalah alim dan hafal Al Quran.

Lalu apa resepnya agar anak bisa alim dan hafal Al Quran? Dijawab oleh Ibu Nyai Dullah, seperti ini, Wes pokoke (sebaiknya) kamu kalau berdoa itu ya semoga anak-anak itu menjadi yang baik. Baik dihadapan Allah, maupun baik dihadapan orang tua.

Jadi, lanjutnya, jadi orang tua tidak tahu. Mungkin baik bagi kita tapi bagi Allah kurang baik. Terus mungkin bagi Allah nggak baik tapi bagi kamu baik. Artinya kita itu belum tahu. Sehingga kalau mau berdoa itu, ya Allah semoga anak-anak jadi orang yang terbaik bagi Allah dan baik bagi saya (orang tua) itu penting.

Jadi, baik bagi Allah juga baik bagi orang tua gitu. Selanjutnya, setelah sholat dibacakan surat Al Fatihah satu satu. Jadi satu untuk anak delapan itu nggak. Tapi satu untuk anak saya ini. Satu untuk anak yang ini. Jadi sampai delapan itu Al Fatihah satu-satu.

Saat membaca Iyya Kana'budu tiga kali nggak bernafas, sama berdoa, semoga anak saya itu, pokok ditoto seng apik mungguhing Allah gitu pokok seng sae (pokoknya diatur yang baik untuk mengikuti dan yang terbaik dari Allah).

Jadi pasrah kepada Allah mintanya yang terbaik. Lalu mengucap Al Fatihah ilahadrotinya itu, ilahadroti ruhi ibni kalau laki-laki, ilahadroti ibni Zaki Fuad wa jasadihi. Fatihahnya begitu ilahadrotinya itu lho. Sedangkan kalau perempuan ilahadroti binti Nur Hilwa Layyina wajasaduha gitu.

Kalau laki-laki hi kalau perempuan ha terus baru Fatihah satu kali caranya begitu tadi. Terutama saat mengucap Iyya kana’budu sampai tiga kali nggak bernafas. Jadi terus nantinya yang satu ya itu, ilahadroti binti Mil'ul Hana wajasadiha baru fatihah.

Karena katanya Mbah Yai Sahid itukan ruhi binti, ruhnya jasadnya gitu. Fatihahnya ilahadroti ruh wajasadiha. Jadi fokusnya ruh dan jasad. Jadi nggak ruh saja. Tapi kalau Mbah Sahid ya seperti itu.

Hajah Nyai Umi Hanik mengaku, bahwa dahulu itu anaknya yang brengkel (suka berdebat) itu ya Labib (Gus Labib atau KH Ahmad Labib Hilmy) itu. Jadinya Mbah Sahid itu paling nggak sehari tujuh belas kali. Karena Labib itu paling banyak fatihahnya. Sampai ada yang bilang empat puluh kali ada yang bilang tujuh belas kali. Dan sebagai orang tua, semuanya sudah dijalani.

Inti pokoknya, orang tua hanya meminta kepada Allah itu. Satu-satunya yang bisa juga karena Allah. Memang anak saya satu itu (Gus Labib) yang menjadi pikiran saya. Tapi ya mungkin ada hikmahnya. Kalau tidak seperti itu akan seneng terus katanya Ibu Is (Hajah Nyai Ismah isti dari KH Ulin Nuha Arwani Kudus).

Kepada Gus Ulin, kerap Hajah Nyai Umi Hanik sambat (berkeluh-kesah). "Gus Ulin itu lho, Labib tek pripun.” (Gus Ulin itu lho bagaiman dengan Labib)."

Lalu dijawab oleh Gus Ulin, ketika itu, lha mengke (lha nanti) kalau nggak ada yang seperti itu (Gus Labib) kan orang tua (Hajjah Nyai Umi Hanik) enak-enak. Kalau ada yang nakal satu kan ilengnya (ingatnya) kepada Allah. Lebih dekat sama Allah. Tapi kalau memang seneng semua kan wes lali karo Allah (kalau senang semua bisa lupa sama Allah). Hikmahnya ya gitu.

Tentu mendapat nasehat seperti itu dari Gus Ulin Nuha, mengucap Alhamdulillah. Seperti mendapat pertolongan Allah. Kalau sekarang jadi begini, anak itukan kalau sekolah nggak pernah lulus. Terus stanawiyah (tingkat SMP) ujian di sini. Nanti aliyah di Sarang, Rembang (di Pondok Pesantren Al Anwar KH Maemoen Zubair) nggak lulus. Lalu ujian di sini dan nggak pernah punya buku.

Dia (Gus Labib) itu, lucunya di situ, saat Aliyah itu ya Allah mau ujian itu ya nyilih (pinjam buku) anak pondok gitu. Terus langsung dipelajari dulu terus ujian itu setelah bisa garap terus tidur di kelas ngantuk.

Tetapi, Hajah Nyai Umi Hanik, mengaku itu adalah bagian dari mendidik anak. Karena dari delapan putrai-putri pasangan KH Muhammad Ahmad Muharror Ali- Hajah Nyai Umi Hanik, Alhamdulillah semua alim dan berilmu.

Kini, Gus Labib telah wafat, namun kenangan dan keteladanannya tetap hidup dalam ingatan banyak orang. Sosoknya yang humoris, kreatif, dan inspiratif menjadi warisan spiritual yang mendalam. Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagi almarhum.

  • Disarikan dari Buku Ngaji Bareng Abah Yai Muharror Ali.