Jakarta, MEMANGGIL.CO – Di balik tawa bahagia setiap pasangan yang melangkah ke pelaminan, selalu ada kisah lain yang jarang terdengar.
Kisah tentang para pria yang memilih tidak berdiri di altar, setidaknya belum sekarang meski usia terus bertambah dan pertanyaan klasik tak pernah absen menghampiri: “Kapan menyusul?”
Sebut saja namanya Eko (bukan nama sebenarnya), warga asal Jakarta. Usianya kini tak lagi muda. Teman-teman sebayanya banyak yang telah membangun keluarga, bahkan sebagian sudah memiliki anak yang mulai menginjak remaja.
Sementara itu, Eko masih berjalan sendiri. Bukan karena ia tidak percaya cinta, bukan pula karena menolak komitmen. Ada hal-hal yang menahannya, sesuatu yang tidak selalu mudah dijelaskan.
Di penghujung tahun 2025 ini, ia tetap menjalani kehidupan sebagai jejaka matang. Tahun 2026 pun belum memberikan jawaban: apakah ia akhirnya berani melangkah ke pelaminan, atau tetap bertahan dengan keputusan hidupnya sekarang.
Di tengah gempuran pertanyaan keluarga, pandangan masyarakat, hingga candaan teman, ada pergulatan besar yang hanya benar-benar dipahami oleh mereka yang mengalaminya. Dunia berubah, nilai-nilai ikut bergeser, dan realitas hidup semakin kompleks.
Bagi sebagian pria seperti Eko, pernikahan bukan sekadar soal keberanian mengucap janji di depan penghulu. Pernikahan adalah perjalanan panjang yang menuntut kesiapan lahir dan batin.
Banyak pria memilih menunda menikah bukan karena ragu pada cinta, melainkan karena rasa tanggung jawab yang begitu besar. Mereka ingin memastikan bahwa keputusan menikah bukan hasil desakan, bukan karena takut dianggap “terlambat”, dan bukan sekadar untuk menghindari jadi bahan pembicaraan keluarga.
Tak bisa dipungkiri, faktor ekonomi masih menjadi beban terbesar. Ekspektasi sosial bahwa suami harus siap sebagai penopang utama keluarga membuat banyak pria berpikir ulang.
Kekhawatiran tidak mampu memberi rasa aman, kestabilan finansial, serta masa depan yang layak sering kali menjadi tembok yang menahan langkah menuju pelaminan.
Di sisi lain, ada pula yang masih bergulat dengan persoalan hidupnya sendiri lantaran utang keluarga, kewajiban yang belum selesai, karier yang belum stabil, hingga luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh.
Kesiapan mental menjadi persoalan yang jarang dibicarakan, namun sesungguhnya sangat menentukan. Ada yang belum siap memikul peran sebagai suami, bahkan calon ayah. Ada ketakutan gagal membahagiakan pasangan, ada pula yang masih berusaha berdamai dengan kegagalan hubungan sebelumnya.
Tidak sedikit yang memilih fokus pada pendidikan, karier, atau mimpi-mimpi yang belum selesai mereka wujudkan. Karena itu, keputusan menunda atau belum menikah bukan berarti lari dari komitmen.
Justru banyak di antara mereka yang memilih menunggu demi memastikan bahwa pernikahan nantinya tidak hanya menjadi seremoni sehari, tetapi perjalanan panjang yang dijalani dengan kesiapan, kesungguhan, dan rasa tanggung jawab penuh.
Pada akhirnya, setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Pernikahan bukan perlombaan siapa yang paling cepat tiba di pelaminan, melainkan tentang siapa yang benar-benar siap bertahan dan membangun kehidupan bersama dengan hati yang mantap.
Artikel ini bukan ajakan untuk menunda, bukan pula pembenaran untuk tidak menikah. Tulisan ini adalah refleksi bahwa di balik label “belum menikah”, ada cerita, alasan, pergulatan, sekaligus harapan.
Dan bagi mereka yang telah menemukan jodohnya, semoga ini menjadi pelecut semangat untuk melangkah dengan keyakinan penuh.