Surabaya, MEMANGGIL.CO – Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyampaikan keprihatinannya atas maraknya praktik prostitusi terselubung di sejumlah titik di Kota Pahlawan.
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya mengancam moral generasi muda, tetapi juga mencederai reputasi Surabaya sebagai kota yang pernah sukses menutup salah satu lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Baca juga: Gastra Blora Himpun Rp 75 Juta untuk Yatim Piatu, Wujud Gerakan Subuh Penuh Keberkahan
Yona, yang akrab disapa Cak Yebe, menegaskan bahwa pihaknya berulang kali mengingatkan Pemkot Surabaya melalui Satpol PP serta Bapemkesra untuk bertindak tegas apabila ditemukan lokasi yang disalahgunakan sebagai tempat praktik prostitusi. Ia menilai pengawasan harus lebih kuat dan tidak hanya bersifat insidental.
Ia menjelaskan praktik prostitusi kini hadir dalam berbagai bentuk, baik konvensional maupun berbasis digital. Beberapa titik bahkan masih aktif meski sering ditertibkan, seperti kawasan Moroseneng yang pada Oktober 2025 masih memerlukan patroli intensif Satpol PP Kecamatan Benowo setiap hari mulai pukul 23.00 hingga 04.00 WIB.
Selain itu, Cak Yebe juga menyoroti tempat-tempat pijat tradisional berizin Pelayanan Kesehatan Tradisional, serta sejumlah penginapan yang diduga menjadi lokasi layanan prostitusi online.
Kawasan eks lokalisasi Dolly pun kembali menjadi sorotan setelah petugas mengamankan dua PSK dan dua muncikari pada 16 November 2025 di sekitar Gang Dolly Putat Jaya Timur III B.
Baca juga: Perdayakan Ekonomi Lokal, Pemkot Surabaya Prioritaskan Tukang Lokal dan Terapkan Sanksi Tegas
Menurutnya, tidak sedikit rumah kos dan wisma yang secara formal tertutup, namun tetap digunakan untuk aktivitas ilegal tersebut. Padahal, regulasi yang mengatur sanksi sudah jelas. Mulai dari Pasal 296 dan 506 KUHP, UU ITE, hingga UU TPPO, semuanya memberikan ancaman pidana yang berat bagi para pelaku maupun pihak yang terlibat.
“Maraknya praktik prostitusi terselubung baik konvensional maupun digital jelas melanggar regulasi,” tegasnya.
Cak Yebe mengingatkan bahwa Surabaya sebagai kota besar memang memiliki kerentanan, namun hal itu harus dijawab dengan langkah yang konsisten dari seluruh perangkat pemerintahan. Ia menilai peran masyarakat juga penting dalam menjaga lingkungan agar tidak menjadi tempat bagi aktivitas prostitusi.
Baca juga: Komisi D DPRD Blora Tegaskan Komitmen Hadirkan Kampus UNY di Blora
“Dibutuhkan kesadaran, komitmen, dan konsistensi semua pihak untuk bersama-sama menciptakan Surabaya bersih dari prostitusi. Tanpa itu semua pasti akan sia-sia,” ujarnya.
Ia kembali mengingatkan bahwa dampak prostitusi bukan hanya merusak moral generasi muda, tetapi juga mencoreng wajah Kota Surabaya. Penutupan Dolly pada era Tri Rismaharini, katanya, adalah simbol penting bagaimana Surabaya mampu menjaga marwahnya ketika seluruh pihak bergerak bersama.
“Penutupan Dolly dulu mengakhiri label Surabaya sebagai kota dengan wisata esek-esek terbesar di Indonesia. Itu prestasi yang harus dijaga, bukan malah mundur,” pungkasnya
Editor : Abdul Rohman