Blora, MEMANGGIL.CO - Banyak masyarakat warga Jawa Tengah, membicarakan tentang tanda lahir atau toh yang masih menjadi bagian dari cerita turun-temurun yang tidak pernah benar-benar hilang. Sebuah noda kecil pada kulit sering dianggap lebih dari sekadar ciri fisik. Ia menyimpan tafsir, harapan, bahkan nasihat hidup yang diwariskan leluhur melalui Primbon Jawa.

Bagi sebagian orang, toh dipercaya membawa pertanda rezeki, nasib, hingga karakter seseorang. Namun bagi sebagian lain, ia hanya fenomena biologis biasa. Di tengah dua pandangan itu, toh justru memperlihatkan bagaimana budaya Jawa membaca kehidupan melalui simbol.

Dalam tradisi Jawa, primbon bukan sekadar kitab ramalan. Ia adalah catatan kebijaksanaan lama yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Di dalamnya, toh dimaknai sebagai tanda spiritual. Letaknya diyakini membawa pesan tertentu tentang diri seseorang.

Toh di dahi sering dikaitkan dengan kecerdasan dan kewibawaan. Toh di dekat mata dianggap melahirkan jiwa petualang, sementara tanda lahir di telinga dipercaya berkaitan dengan kepekaan rasa dan sifat emosional seseorang.

Keyakinan ini bertahan bukan karena sekadar mistis, melainkan karena budaya Jawa terbiasa membaca tanda sebagai nasihat kehidupan.

Bagi orang tua dahulu, toh bukan “vonis nasib”, melainkan pengingat agar manusia selalu mawas diri, bersyukur, dan memahami dirinya.

Sementara itu, dalam dunia medis, tanda lahir adalah penumpukan pigmen atau pembuluh darah di kulit. Umumnya tidak berbahaya, meski perlu diperiksa jika mengalami perubahan drastis.

Penjelasan ilmiah ini penting, agar masyarakat tidak diliputi ketakutan berlebih. Namun keberadaan ilmu juga tidak lantas meniadakan nilai budaya. Justru, keduanya bisa berjalan beriringan: ilmu memberi fakta, sedangkan budaya memberi makna.

Mengapa Orang Jawa Memberi Makna pada Toh?

Sate Pak Rizki

Antropologi menyebut, kebiasaan memberi arti pada tanda tubuh adalah cara masyarakat menjaga hubungan dengan nilai-nilai hidupnya. Bagi orang Jawa, setiap tanda adalah pesan.

Pesan itu mengajak manusia untuk berhati-hati, berusaha, sekaligus tidak lupa bersyukur.
Budaya Jawa memandang hidup sebagai perjalanan yang penuh simbol. Karena itu, toh sering diposisikan sebagai pengingat, bukan ketakutan.
Bertahan di Era Digital

Meski zaman berubah, minat terhadap primbon justru tidak benar-benar pudar. Banyak anak muda kini melihatnya sebagai bagian identitas budaya, bukan semata kepercayaan mutlak. Ada rasa ingin tahu, ada keinginan untuk tetap terhubung dengan akar leluhur.

Di media sosial, pembahasan tentang toh kerap muncul kembali. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi sebagai pengetahuan budaya yang menarik untuk dipahami.
Bijak Menyikapi

Pada akhirnya, primbon Jawa selalu menekankan satu hal: kebijaksanaan. Toh boleh diyakini, boleh juga hanya dihargai sebagai warisan budaya.

Yang terpenting, ia tidak menghilangkan logika, tidak menjerat manusia pada ketakutan, dan tidak membuat seseorang merasa lebih rendah hanya karena sebuah tanda di kulit.

Toh hanyalah tanda. Hidup tetap ditentukan oleh usaha, karakter, doa, dan kerja keras.