MEMANGGIL.CO - Kegigihan pak tua itu tidak berhenti di pematang sawah. Usai menggenggam cangkul seharian, di rumah ia menjelma menjadi panutan. Tanpa banyak kata, ia mengajarkan kedisiplinan kepada anak-anak dan istrinya.
Ia tahu betul, lidahnya kaku dalam merangkai kata. “Tindakan lebih lantang dari ucapan,” begitu keyakinannya. Maka ia memilih memberi contoh, bukan dengan banyak bicara, melainkan lewat kerja keras yang nyata.
Baca juga: Pak Tua, Guru Kesabaran dari Pematang Sawah
Meski tak tamat sekolah dasar, bagi pak tua itu disiplin ilmu bukan hal sepele. Justru karena tidak bersekolah, ia sadar betapa pentingnya pendidikan.
Cangkul yang ia ayunkan, peluh yang ia teteskan, bahkan tulang yang rela ia banting, semua demi memastikan anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Baginya, pendidikan adalah jalan terang. Sebuah jembatan untuk menata peradaban yang baik dan bermartabat. Ia tak ingin keterbatasannya diwarisi oleh anak-anaknya.
Istrinya, yang juga tak pernah menginjak bangku sekolah, memahami betul cita-cita suaminya. Ia pandai mengelola hasil kerja keras itu.
Uang yang tak seberapa di tangannya menjelma menjadi kekuatan. Istrinya bak sebuah brankas sederhana, selalu menyisakan sedikit rezeki demi biaya sekolah anak-anaknya.
Perjuangan itu perlahan berbuah manis. Anak sulung mereka berhasil melangkah ke perguruan tinggi meski biaya terbatas.
Namun, bagi pak tua, keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi. Anak kedua dan ketiganya pun mendapat kesempatan yang sama: duduk di bangku sekolah yang lebih layak, walau masih dalam bayang-bayang kekurangan.
Doa pak tua itu akhirnya dikabulkan, seperti hujan yang turun membasahi tanah tandus. Jerih payahnya menjelma menjadi jalan bagi anak-anaknya meraih masa depan.
Dan meski hidup penuh kekurangan, rasa mengeluh tak pernah keluar dari bibirnya. Ia justru bangga, karena dari kerja kerasnya yang sederhana, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Teras Rumah
Baca juga: Demo Memanas, Massa Aksi Desak Copot Ketua PN Tuban Imbas Vonis Bebas Perkara Anak
Malam itu, selepas menunaikan shalat Isya, pak tua duduk di teras rumahnya yang sederhana. Lampu minyak bergoyang tertiup angin, menerangi anak sulungnya yang tengah menekuni buku kuliah.
Dari kejauhan, ia memandang dengan senyum kecil, meski tubuhnya masih terasa remuk oleh ayunan cangkul seharian.
Matanya berkaca-kaca, bukan karena lelah, melainkan karena haru. Dalam benaknya, ia berkata lirih;
“Beginilah cara aku membalas hidup. Biarlah punggungku yang terbakar matahari, asal jalan anak-anakku terang oleh ilmu.”
Dari kisahnya, kita diajarkan satu hal tentang keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan cambuk untuk terus berjuang. Ia tahu benar, hanya pendidikan dan ilmu yang mampu memutus rantai keterpurukan, sekaligus mengangkat derajat keluarga.
Kesederhanaannya juga memberi pelajaran berharga. Mengeluh bukanlah solusi, melainkan batu sandungan. Maka tak ada hari yang ia isi dengan keluh-kesah.
Baca juga: Tuban Nyaris Ricuh, Polisi Gagalkan Tawuran Antar Kelompok Pemuda
Setiap hari adalah ruang kerja keras, ruang doa, dan ruang syukur atas rezeki yang dibagikan oleh Sang Pencipta.
Hidup pak tua memang jauh dari kata sejahtera. Namun, dari tangan dan peluhnya, ia berhasil mensejahterakan anak-anaknya dengan pendidikan. Dan baginya, pendidikan adalah jembatan paling kokoh untuk mengubah nasib, menulis kebaikan, sekaligus meninggalkan warisan abadi, yakni ilmu yang tak lekang dimakan zaman.
Catatan:
"Cangkulnya mungkin usang, bajunya penuh tambalan, dan tangannya kapalan. Tapi tekadnya adalah api yang tak pernah padam. Dari api itu, lahir cahaya bagi generasi yang akan menulis sejarah keluarga dengan tinta emas ilmu pengetahuan,".
Bagiamana cerita selanjutnya tentang keberhasilan anak-anaknya, dan air mata bangku belakang wisuda pak tua. Ditunggu pada bagian III dan IV. (Bersambung-2)
Editor : Abdul Rohman