Surabaya, MEMANGGIL.CO - Siang itu Surabaya terasa lebih panas dari biasanya. Bukan hanya karena terik matahari, tetapi karena pilu yang menancap di dada seorang perempuan renta bernama Nenek Elina Widjajanti (80).

Dengan tatapan kosong, ia berdiri memandangi hamparan puing yang dulu ia sebut rumahnya tempat berteduh, tempat berbagi tawa, tempat menyimpan kenangan, sekaligus saksi perjalanan panjang hidupnya.

Kini semuanya runtuh. Yang tersisa hanya serpihan bata, debu, ketidakpastian, dan luka batin yang sulit diukur. Peristiwa memilukan di kawasan Dukuh Kuwukan, Surabaya ini sontak menjadi sorotan nasional setelah video perobohan rumah tersebut viral di media sosial.

Publik terhenyak. Di tengah modernitas kota besar, mengapa masih ada lansia yang harus kehilangan rumahnya dengan cara yang begitu menyakitkan?

Surabaya Tidak Tinggal Diam

Menyikapi gelombang empati masyarakat, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memastikan bahwa pemerintah tidak menutup mata.

Dengan suara tegas, Eri menegaskan bahwa martabat warga Surabaya adalah harga diri kota yang tidak boleh dipermainkan siapa pun.

“Tidak ada tempat bagi tindakan semena-mena di Kota Surabaya. Siapa pun yang salah harus bertanggung jawab secara hukum,” ujar Eri Cahyadi, ditulis Sabtu (27/12/2025).

Eri mengungkapkan bahwa sebelum kasus ini viral, pihak kecamatan sebenarnya telah bergerak dan melaporkan dugaan keterlibatan oknum organisasi masyarakat (ormas) kepada Polda Jawa Timur untuk diusut tuntas.

“Bahkan sebelum viral, laporan sudah berjalan. Kami pastikan kasus ini menjadi atensi khusus agar ada kejelasan hukum,” imbuhnya.

Momentum Surabaya Lawan Premanisme

Sate Pak Rizki

Tragedi yang menimpa Nenek Elina menjadi pemantik tekad Pemerintah Kota Surabaya untuk membersihkan praktik premanisme. Surabaya tidak boleh menjadi kota yang ditakuti oleh intimidasi pihak mana pun.

Sebagai langkah konkret, Pemkot berencana membentuk Satgas Anti-Preman yang melibatkan unsur TNI, Polri, serta berbagai elemen masyarakat. Satgas ini tidak hanya bertugas menindak, tetapi memastikan warga merasa aman dan terlindungi.

“Surabaya harus aman. Siapa pun yang melakukan premanisme akan kita tindak tegas. Kita siapkan pos khusus untuk memperkuat rasa aman warga,” tegas Eri.

Pada momentum pergantian tahun 2026, Pemkot juga akan mengumpulkan seluruh ketua ormas dan tokoh lintas suku. Tujuannya jelas untuk menyatukan komitmen bahwa Surabaya adalah rumah bersama, tempat di mana empati harus berdiri lebih tinggi dari kekuatan fisik.

Di tengah langkah hukum dan kebijakan, ada satu prioritas yang tidak boleh dilupakan, yakni memulihkan kehidupan Nenek Elina.

Pemkot Surabaya menyiapkan asesmen hunian sementara sekaligus pendampingan psikologis. Karena kehilangan rumah di usia 80 tahun bukan sekadar kehilangan bangunan. Itu kehilangan rasa aman.

“Membangun rumah itu teknis. Tapi membangun kembali kondisi psikis beliau adalah kewajiban kemanusiaan,” ujar Eri dengan nada prihatin.

Kini Nenek Elina tidak lagi berdiri sendirian di antara puing. Ada pemerintah, aparat, dan warga yang mulai merangkul. Publik menanti, agar keadilan benar-benar ditegakkan, bukan sekadar janji yang berlalu.

Karena kota yang besar bukan hanya tentang gedung-gedung yang menjulang, tetapi tentang hati yang tetap manusiawi. Dan Surabaya ingin membuktikan itu.