Ekspedisi Wastra Oerip Indonesia di Lereng Bromo yang Menghadirkan Kisah Mendalam


Dian Erra Komalasari saat perlihatkan hasil karya Tengger ! Adji/Memanggil. co

MEMANGGIL.CO - Selama bertahun-tahun, suku Tengger yang bermukim di sekitar Gunung Bromo telah dikenal dengan ciri khas busana tradisionalnya, terutama penggunaan kain sarung dan udeng (ikat kepala) yang selalu dikenakan oleh penduduk, baik saat berkuda maupun dalam keseharian.

Namun, sebuah pertanyaan mendasar selalu muncul di benak para pecinta wastra: Apakah kain-kain tersebut merupakan hasil tenun atau batik kreasi lokal, ataukah didatangkan dari luar?

Baca juga:

Inilah yang menjadi misi utama Ekspedisi "Suar Sarung Tengger" yang dipimpin oleh Dian Erra Komalasari, pendiri merek fesyen Oerip Indonesia (lebih dikenal sebagai Dian Oerip).

Dalam perjalanan yang merupakan bagian dari eksplorasi wastra Nusantara selama 17 tahun, Dian dan timnya bertekad mengulik kebenaran di balik kain ikonik Tengger.

Pragmatisme Petani antara Tradisi Wastra Oerip Indonesia dikenal memiliki misi ganda: mencari wastra dan para pembuatnya, lalu membantu memasarkan karya mereka sering kali melalui siaran langsung di Instagram sebelum diolah lebih lanjut menjadi koleksi fesyen oleh Dian. Namun, perjalanan di Tengger menghadirkan realitas yang berbeda.

Setelah menyusuri wilayah Malang, Limajang, Probolinggo, dan Pasuruan, serta berdialog dengan kepala desa hingga tokoh adat dan spiritual (Romo/Dukun), tim menemukan jawaban yang mengejutkan: sebagian besar wastra yang dipakai penduduk Tengger adalah kain beli, bukan produksi sendiri.

Hal ini tidak lepas dari sifat pragmatis komunitas Tengger. Karena kesibukan utama mereka adalah berladang, fokus pada aktivitas pertanian membuat mereka tidak memiliki tradisi mengakar untuk menenun atau membatik seperti di daerah lain di Jawa.

Menurut Dian, kain-kain identitas ini mayoritas dipasok dari sentra-sentra wastra di Jawa, seperti Mojokerto, Gresik (Jawa Timur), atau sentra batik di Jawa Tengah dan Cirebon seperti Pekalongan dan Sragen. Fungsi utama sarung adalah untuk melindungi diri dari dingin di kawasan pegunungan.

Dalam penelusuran, tim Oerip sempat menemukan adanya "pakem" atau pedoman penggunaan sarung dan udeng berdasarkan status sosial, usia, atau status pernikahan (gadis, menikah, janda). Buku panduan ini bahkan dikonfirmasi oleh beberapa pemuka adat.

Namun, ketika mengamati kehidupan nyata dan berinteraksi langsung dengan warga, terjadi diskoneksi. Seorang warga yang belum menikah atau memiliki anak, misalnya, didapati memakai sarung dengan gaya yang seharusnya hanya dikenakan oleh ibu-ibu.

Disainer ternama itu mengungkapkan, puncaknya, Romo atau Dukun adat tingkat tertinggi di salah satu wilayah Tengger menyatakan sebuah pandangan yang sangat filosofis,

"Itu hanya wong-wong zaman saiki (orang-orang zaman sekarang). Ini (pakem asli) ora enek opo-opo (tidak ada apa-apa)." kata Dian ditemui awak media Cafe Taman Dayu,Kamis (25/9).

Baca juga:

Dian menegaskan, bahwa penggunaan busana, bagi mereka, kini lebih didasari oleh fungsi, kenyamanan, dan kebutuhan praktis sehari-hari, bukan lagi terikat pada aturan yang ketat. Inilah yang diyakini Dian sebagai esensi dari nama mereknya Oerip (Hidup) sebuah refleksi bahwa keberagaman dan perubahan adalah bagian dari kehidupan.

Penemuan ini menjadi titik balik sekaligus inspirasi koleksi fesyen terbaru Oerip Indonesia. Dian Erra Komalasari diundang untuk tampil di sebuah acara bergengsi di Moskow, Rusia, pada Oktober. Awalnya, dirinya berniat mengangkat koleksi Autum (Musim Gugur), namun perubahan jadwal mendadak memaksanya beralih ke koleksi Winter (Musim Dingin).

Kisah Tengger yang penuh kontradiksi ini menjadi benang merahnya. Melihat orang Tengger yang selalu bersarung untuk melawan dingin.

"Kenapa tidak Jawa saja? Kenapa harus jauh-jauh?" ungkapnya.

Koleksi tersebut diberi nama "Ruah Rintik" dengan tema dominan hitam dan putih, yang melambangkan hujan di Indonesia dan salju di Rusia. Dian menggabungkan inspirasi wastra Tengger dengan desain Winter yang modern.

Di penghujung ekspedisi di Desa Tosari, Pasuruan, tim Oerip menemukan sesosok kreator muda bernama Mas Yaya. Mas Yaya merintis usaha sejak 2020 didorong oleh kegelisahan. Ia merasa sedih melihat para pemimpin adat/dukun hanya menggunakan udeng yang berasal dari kain beli.

Baca juga:

Ia pun berinisiatif membuat kain udeng dan batik yang benar-benar terinspirasi dari filosofi lokal Tengger, seperti makna sesajen, upacara adat, hingga arsitektur rumah. Uniknya, Yaya memastikan pola yang diciptakannya mendapat konfirmasi dan restu dari para ketua adat sebelum diproduksi, sebagai bentuk penghormatan.

Karya Mas Yaya, yang bermerek TOSARIAN, menjadi bagian penting dalam koleksi Dian Oerip di Moskow. Koleksi winter yang akan ditampilkan dirancang dalam dua versi: versi lapisan tebal untuk iklim dingin Moskow, dan versi ringan untuk pasar Indonesia.

Elemen kearifan lokal Tengger akan dihadirkan dalam bentuk replika selimut atau syal bergaya sarung/selendang (Kawung) yang akan dikenakan sebagai lapisan luar coat dan dibuka saat model di dalam ruangan, lengkap dengan panduan style aslinya.

Bagi Dian Oerip, kisah Tengger menegaskan tagar (slogan) Urip Indonesia selama ini: "Wastra menemukan jodohnya." Dalam hal ini, ia menemukan jodoh kreativitas dengan Mas Yaya, yang karyanya selaras dengan tema "Ruah Rintik" (hitam-putih).

"Kisah ini membuktikan bahwa budaya dapat terus hidup, bahkan melalui reinterpretasi yang modern, fungsional, dan tetap menghormati filosofi lokal," pungkas Dian Oerip.

Editor :

Peristiwa
Berita Populer
Berita Terbaru