Karanganyar, MEMANGGIL.CO — Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, memunculkan dinamika baru di kalangan akademisi muda. Pada Sabtu (15/11/2025), Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN) Korwil Jawa Tengah melakukan ziarah dan refleksi sejarah di Astana Giribangun, Karanganyar, sebagai respons atas keputusan pemerintah yang masih memicu perdebatan publik.
Kegiatan yang diikuti mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ini menjadi ruang diskusi lapangan tentang kontroversi warisan sejarah Soeharto—antara capaian pembangunan dan catatan pelanggaran HAM. Sekjen AMAN Jawa Tengah, Wafiq Akbar Hasibuan, menegaskan bahwa gelar tersebut perlu ditempatkan dalam konteks kontribusi pembangunan Indonesia.
Baca juga: Baktiono Meminta Kaji Ulang Gelar Pahlawan untuk Soeharto
“Gelar Pahlawan Soeharto relevan dengan kontribusi pada pembangunan Indonesia. Mahasiswa harus melihat warisan sejarah secara utuh, bukan parsial,” ujar Wafiq.
Sesampainya di lokasi, para mahasiswa disambut Abdi Dalem Astana Giribangun, Sukirno, sebelum memasuki area pemakaman Soeharto dan Ibu Tien. Prosesi berlangsung khidmat melalui pembacaan doa, tabur bunga, hingga hening cipta yang berlangsung beberapa menit.
Namun di balik ritual tersebut, kegiatan ini dimaknai mahasiswa sebagai upaya membaca ulang jejak panjang kepemimpinan Soeharto. Para peserta diajak berdiskusi mengenai pembangunan ekonomi Orde Baru, stabilitas politik, serta sejumlah persoalan yang menyertai masa pemerintahannya.
Baca juga: Mensos Gus Ipul: Soeharto dan Gus Dur Berpeluang Jadi Pahlawan Nasional Tahun 2025
Menurut panitia, pendekatan reflektif ini penting agar generasi muda tidak terjebak pada glorifikasi maupun demonisasi masa lalu.
“Ziarah ini bukan sekadar penghormatan, tetapi ruang belajar sejarah yang hidup. Mahasiswa perlu memahami konteks kepemimpinan bangsa dalam seluruh aspeknya,” kata Wafiq.
Baca juga: Pertempuran Surabaya: Perjuangan Heroik yang Jadi Simbol Kemerdekaan Indonesia
Sukirno juga menyambut baik kedatangan mahasiswa. “Tradisi ziarah seperti ini perlu dilestarikan. Mahasiswa harus terus belajar sejarah dari para pendahulu,” ujarnya.
Dalam penutup kegiatan, mahasiswa menyinggung adagium Jawa yang lekat dengan sosok Soeharto, “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero.” Prinsip tersebut dipahami sebagai etika menjaga kehormatan pendahulu tanpa menghapus fakta sejarah. Bagi mereka, nilai ini menjadi pengingat bahwa generasi muda perlu bersikap kritis namun tetap beretika dalam menilai pemimpin masa lalu.
Editor : B. Wibowo