MEMANGGIL.CO - Emansipasi wanita adalah tonggak penting dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia. Di Indonesia R.A. Kartini adalah sosok pelopor yang membuka jalan bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang setara, terutama dalam bidang pendidikan dan kesempatan hidup yang lebih baik.

Kartini lahir dari kalangan bangsawan Jawa, sebuah status yang membawanya pada kehidupan penuh aturan dalam sistem kebangsawanannya. Sebagai putri dari Bupati Jepara, ia mendapat hak istimewa yang tidak dimiliki banyak perempuan pribumi kala itu, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan dasar dan menjalin pertemanan dengan kalangan Eropa, terutama para sahabatnya dari Belanda.

Kehidupan di balik tembok pingitan tidak membungkam semangatnya. Justru dari dalam ruang sunyi itulah Kartini mulai menulis, mencurahkan isi hatinya pada sahabat pena di negeri jauh. Ia bercerita tentang kegelisahannya melihat perempuan-perempuan Jawa hidup dalam bayang-bayang, tanpa hak menentukan masa depan, bahkan tanpa kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak. Ia bertanya-tanya, mengapa seorang perempuan harus dikurung hanya karena adat? Mengapa suara dan cita-cita mereka tak pernah dianggap penting?

Melalui surat-surat yang dikirimkan ke sahabat-sahabat Belandanya seperti Rosa Abendanon, Kartini membuka jendela batin dunia. Dari koneksi dan kepercayaan yang terjalin lewat persahabatan itulah, suara Kartini menembus batas ruang dan waktu. Ia tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh perempuan di tanah Jawa yang terbungkam oleh adat dan tradisi.

Sebagai seorang bangsawan, Kartini memanfaatkan hak istimewa yang ia miliki bukan untuk kenyamanan pribadi, tetapi sebagai alat perjuangan. Ia tahu, keistimewaan itu adalah tanggung jawab. Dan dari balik dinding pingitan, ia memilih menjadi jembatan antara suara kaum perempuan yang dibungkam dengan dunia luar yang bisa membantunya menyuarakan perubahan.

R.A. Kartini adalah sosok pahlawan perempuan yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Kartini tumbuh dalam lingkungan bangsawan Jawa yang sangat memegang adat istiadat. Namun, Kartini memiliki pandangan yang jauh lebih maju dari zamannya. Wanita yang hanya diangap sebagai kaum wingking. Perempuan saat itu hidupnya hanya   di seputar kasur, dapur, dan sumur. Wanita diposisikan hanya sebagai pelampiasan pemenuhan hasrat biologis suaminya, menyiapkan kebutuhan makan anak dan suaminya, dan menyelesaikan tugas mencuci pakaian orang serumah. Memperhatikan doktrin ini R.A. kartini percaya bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti laki-laki, agar mampu berpikir mandiri dan berperan aktif dalam masyarakat.

Namun, seiring waktu, cita-cita luhur ini perlahan mengalami pergeseran makna, bahkan dalam beberapa aspek, emansipasi justru melahirkan ketimpangan baru. Sinetron Suami-Suami Takut Istri menjadi cerminan nyata dari fenomena emansipasi yang kebablasan, di mana dominasi perempuan dalam rumah tangga ditampilkan secara berlebihan hingga para suami digambarkan kehilangan wibawa, kendali, bahkan suara. Alih-alih menunjukkan kesetaraan yang sehat antara pria dan wanita, sinetron ini justru memelintir makna emansipasi menjadi ajang superioritas perempuan atas laki-laki, menjadikan ketakutan suami sebagai bahan komedi yang menghibur, namun secara tak langsung merefleksikan ketimpangan baru dalam relasi gender.

Pergeseran Semangat Emansipasi menjadi Dominasi

Kesetaraan yang diperjuangkan Kartini adalah soal mengangkat perempuan agar memiliki akses yang sama dengan laki-laki, sama-sama bisa sekolah, bekerja, dan didengar suaranya dalam kehidupan sosial. Namun dalam realita masa kini, bukan hanya kesetaraan yang terjadi, melainkan dominasi.

Kini, dalam banyak rumah tangga dan lingkungan kerja, posisi perempuan sering kali lebih kuat daripada laki-laki. Dalam konteks tertentu, bukan hanya karena kemampuan, tetapi karena status ekonomi dan sosial yang membuat suami merasa kalah. Tak jarang, para pria mengaku merasa inferior ketika gaji istri lebih tinggi, atau ketika istri memiliki jabatan dan pengaruh lebih besar di masyarakat. Bahkan, ada ungkapan populer yang mulai muncul takut istri.

Fenomena ini bukan berarti wanita salah ketika mereka sukses, sama sekali tidak. Masalah muncul ketika semangat emansipasi berubah menjadi bentuk dominasi dan pengabaian terhadap prinsip keseimbangan peran dalam hubungan dan keluarga. Seakan-akan emansipasi telah berubah dari hak yang sama menjadi hak untuk mengalahkan.

Kartini dan Makna yang Mulai Terlupakan

Tulisan ini sedikit dianggap telat tetapi bagaimana ini menjadi auto kritik sosial. Kita ketahui setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini, telah menggejala di tiap-tiap lembaga baik pemerintah atau swasta, sekolah atau perkantoran semua ada peringatan dengan simbol baju adat jawa. Namun, peringatan ini kini lebih banyak hanya sebuah warna berbau kontes kebaya, lomba-lomba bertema wanita, dan sekadar unggahan di media sosial. Nilai-nilai perjuangan Kartini seakan tertinggal di balik kostum dan caption.

Padahal, kala itu Kartini tidak sedang memperjuangkan emansipasi melalui pemikirannya untuk sekadar tampil cantik atau kuat secara finansial. Ia memperjuangkan kebebasan berpikir, akses untuk mendapatkan pendidikan yang luas bagi kaum perempuan, serta kesadaran untuk menjadi manusia yang utuh dan merdeka, bukan untuk menjatuhkan laki-laki atau merasa lebih tinggi darinya sebagai bentuk balas dendam.

Perjuangan Kartini adalah tentang harmoni keadaan yang serasi, selaras, dan seimbang  bukan rivalitas. Tentang saling melengkapi, bukan saling mengalahkan. Jika kita masih menjadikan emansipasi sebagai ajang pamer kekuasaan atau status, maka hal tersebut sama halnya kita telah gagal memahami pesan Kartini yang sesunggunya.

Refleksi Makna Emansipasi

Emansipasi seyogyanya diposisikan menjadi sarana bukan tujuan. Baik pria maupun wanita sama-sama mendapatkan ruang untuk berkembang, tanpa harus merendahkan satu sama lain. Sudah saatnya kita kembali kepada esensi awal emansipasi, yaitu hak untuk belajar, bekerja, dan bersuara dalam semangat kesetaraan, bukan persaingan. Mari rayakan Hari Kartini dengan sebuah refleksi, bukan hanya sebatas seremoni. Mari kita hidupkan semangat Kartini dengan menciptakan masyarakat yang adil, bukan hanya adil bagi satu gender, tetapi bagi untuk semua. Kembali kepada cita-cita kemerdekaan, adil untuk semua.

Penulis: Sekretaris Majelis Dikdasmen & PNF PDM Bojonegoro, Suprapto