MEMANGGIL.CO - Hari Pendidikan telah berlalu, tetapi hingga tulisan ini diangkat masih saja ganjalan di alam ‎pikir penulis, tahun ini “2025”, Hari Pendidikan Nasional mengangkat tema yang tampak ‎hebat dan menjanjikan untuk perbaikan di dunia pendidikan tanah air.

Tema Hari Pendidikan ‎Nasioanl tahun 2025 adalah “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk ‎Semua.” tema yang penuh harapan ini kini berhadapan dengan kenyataan sosial yang tak ‎kalah keras, degradasi nilai dalam dunia pendidikan, yang tidak hanya melanda murid, tetapi ‎juga guru.‎

Semua yang kita saksikan saat ini bukan lagi sebatas kelalaian individu, gejala sistemik dari ‎kebingungan nilai di tengah gempuran digitalisasi menjadi penyebab utama. Di satu sisi, ‎media sosial menawarkan peluang kolaborasi dan kreativitas dan menjanjikan nilai ekonomi ‎disamping kepuasan syahwati. Di sisi lain, ia menjadi ladang subur bagi narsisme dan ‎pelarian identitas. Ketika guru mulai berlomba menciptakan konten viral, dan sebagian ‎justru menjual sisi pribadi yang tak patut ditampilkan di ruang publik, maka kita harus ‎bertanya, apakah pendidikan masih menjadi panggilan moral atau telah berubah menjadi ‎ajang pencitraan?‎

Muncullah fenomena seperti Bu Guru Salsa, simbol dari guru yang lebih sibuk berjoget demi ‎konten viral ketimbang mendidik dengan keteladanan, ditiru murid-murid yang tumbuh ‎tanpa filter moral dalam budaya digital serba instan. Ketika guru kehilangan marwah dan ‎murid kehilangan arah, muncullah generasi “kaum tulang lunak” . Istilah yang ‎mencerminkan generasi yang rapuh secara karakter, lentur pada tren, dan miskin daya tahan ‎terhadap nilai. Anak-anak ini meniru bukan karena hormat, melainkan karena bingung ‎mencari figur panutan. Ditambah dengan kebebasan berekspresi yang tak disertai pendidikan ‎etika digital, mereka merasa sah saja memaki guru lewat media sosial, mengolok-olok ‎otoritas, dan mengaburkan batas antara kebebasan dan kebebalan.‎

Di titik ini, peran guru mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan. Dulu, guru adalah ‎simbol kewibawaan, keteladanan, dan penjaga nilai. Kini, sebagian guru justru mengaburkan ‎garis batas antara profesi dan hiburan. Konten senam lemah gemulai, gurauan berlebihan, ‎atau bahkan penampilan vulgar di media sosial menimbulkan bias identitas. Anak didik yang ‎semestinya belajar tentang integritas, justru dijejali gambaran bahwa menjadi guru bukan ‎lagi soal mendidik, tapi soal tampil memikat. Guru harus cantik, guru harus gantheng, guru ‎harus berbibir merah merona, guru harus dan lain-lainnya.‎

Di sinilah kita melihat krisis yang lebih dalam, krisis otoritas moral. Ketika guru kehilangan ‎marwahnya, dan murid kehilangan arah, maka pendidikan bukan lagi proses transformasi, ‎tapi sekadar tontonan sosial. Lebih buruk lagi, kita mulai terbiasa dengan hal-hal yang salah. ‎Konten absurd dari pendidik tak lagi dikecam, tapi justru dirayakan. Sementara kritik dari ‎murid terhadap guru bukan lagi disampaikan dalam ruang diskusi, tapi lewat video sindiran ‎dan komentar kasar.‎

Apakah ini wujud dari “partisipasi semesta” yang kita harapkan?‎

Tentu jawabannya jelas “tidak“. Partisipasi semesta dalam pendidikan semestinya ‎mengandung kesadaran kolektif untuk menjaga nilai, bukan merayakan kelonggaran etika. ‎Partisipasi semesta dalam konteks pendidikan memang bukan hanya soal kehadiran atau ‎keterlibatan secara simbolis, apalagi dalam bentuk konten-konten negatif atau viralitas yang ‎sesaat. Pendidikan adalah proses jangka panjang yang melibatkan semua elemen bangsa—‎orang tua, guru, pemerintah, media, hingga dunia usaha—dalam mencetak generasi ‎berkarakter dan berperadaban..‎

Sate Pak Rizki

Oleh karena itu pada Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, kita justru dihadapkan pada ujian ‎berat, mampu atau tidak kita menegakkan kembali martabat pendidikan di tengah ‎gelombang distraksi digital? Mampukah guru kembali menjadi pelita, bukan penghibur? ‎Mampukah murid kembali dididik menjadi manusia utuh, bukan hanya pengguna konten? ‎Jika tidak, maka yang terjadi bukan partisipasi semesta, tapi disorientasi semesta. ‎Pendidikan yang mestinya memerdekakan, justru terjerat dalam budaya instan dan impresi ‎semu.‎

Sudah waktunya kita bersikap. Pendidikan yang bermutu hanya bisa lahir dari partisipasi ‎yang berakar pada nilai, bukan pada gimmick. Dan jika kita benar-benar mencintai masa ‎depan negeri ini, kita harus memulainya hari ini, dengan keberanian untuk berkata cukup ‎pada semua yang menodai makna pendidikan.‎

Penulis: Sekretaris Majelis Dikdasmen & PNF PDM Bojonegoro, Suprapto