Bangku Kuliah dan Ilusi Belajar Kritis


BLORA, MEMANGGIL.CO - Bangku perkuliahan sering dianggap sebagai simbol keistimewaan. Tempat di mana seseorang menimba ilmu, membuka wawasan, dan membentuk pola pikir yang lebih terbuka serta kritis.

Harapan itu begitu tinggi, kuliah menjadi gerbang menuju pribadi yang berdaya saing, penuh ide, dan siap menghadapi dunia kerja. Namun, ekspektasi itu kerap kali runtuh ketika bersentuhan dengan realitas di lapangan.

Baca juga:

Pada hari pertama perkuliahan, idealisme mahasiswa baru sering kali langsung diuji. Di depan kelas, sang dosen tidak berbicara tentang isu-isu aktual atau teori kritis yang menggugah, melainkan sekadar membacakan Kontrak Kuliah dan Rencana Pertemuan.

Deretan bab kemudian dibagi-bagi menjadi tugas presentasi kelompok. Di sinilah kata Student-Centered Learning (SCL) sering digaungkan, sebuah istilah yang terdengar modern, tetapi tak jarang berubah menjadi tameng untuk mengurangi peran aktif dosen dalam memberikan pengajaran yang substansial.

Padahal, konsep SCL sejatinya bukan tentang pelimpahan tanggung jawab, melainkan pembelajaran kolaboratif yang mendorong mahasiswa berpikir kritis melalui bimbingan aktif dari dosen.

Ironisnya, di banyak ruang kelas, makna itu memudar. Rencana Pembelajaran (RP) yang seharusnya menjadi panduan efektif dan efisien, berubah menjadi daftar formalitas yang berulang setiap semester.

Akibatnya, dampaknya baru benar-benar terasa setelah kelulusan. Banyak sarjana dihasilkan, tetapi tidak sedikit yang kebingungan menapaki dunia kerja.

Baca juga:

Mereka dihadapkan pada pasar yang menuntut keterampilan spesifik, skill yang justru tidak diasah selama kuliah. Akhirnya, lulusan berbondong-bondong mengikuti workshop dan pelatihan singkat untuk memperoleh kompetensi yang lebih aplikatif.

Perguruan tinggi pun kehilangan fungsinya sebagai lembaga pencetak manusia unggul, bukan sekadar pemberi gelar.

Sudah saatnya perguruan tinggi melakukan reorientasi pendidikan. Rencana Pembelajaran tidak boleh berhenti pada daftar bab, tetapi harus menjadi peta besar pembentukan manusia bernilai, yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.

Baca juga:

Dosen pun perlu menghidupkan kembali semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

Melalui Tri Dharma yang benar-benar aplikatif, perguruan tinggi dapat hadir lebih dekat dengan realitas sosial. Mahasiswa tak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari problem nyata di lapangan.

Dengan begitu, perguruan tinggi bukan lagi sekadar pabrik gelar, melainkan laboratorium kemanusiaan yang melahirkan individu tangguh, kritis, dan solutif bagi bangsa.

Editor :

Peristiwa
Berita Populer
Berita Terbaru