Sidoarjo, MEMANGGIL.CO – Dugaan praktik double accounting dalam pembangunan Jembatan Kedungpeluk, Kecamatan Candi, Sidoarjo, kembali menjadi sorotan. Proyek senilai Rp2,469 miliar itu tercatat sebagai pembangunan melalui skema kapitalisasi Belanja Tidak Terduga (BTT). Namun, indikasi kuat muncul bahwa fisik jembatan yang sama juga masuk dalam belanja modal reguler di dinas teknis.

Jika dugaan tersebut benar adanya, maka satu objek fisik dapat dicatat sebagai dua aset berbeda, yang berpotensi menimbulkan double payment atau pembayaran ganda dari APBD. Pola seperti ini dianggap sebagai salah satu bentuk manipulasi laporan keuangan yang dapat memengaruhi opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Hasil penelusuran dokumen Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) menunjukkan kejanggalan yang cukup serius. Dalam dokumen tersebut, Jembatan Kedungpeluk telah direklasifikasi dari BTT menjadi aset tetap. Reklasifikasi ini lazim dilakukan pada aktivitas darurat yang menghasilkan aset fisik.

Namun, di sisi lain, ditemukan pula indikasi bahwa pekerjaan dengan karakteristik serupa dicatat dalam pos belanja modal peningkatan jalan–jembatan pada OPD teknis. Bila kedua dokumen tersebut mengacu pada objek fisik yang sama, maka praktik ini memenuhi pola klasik double accounting yang jamak ditemukan dalam kasus korupsi berbasis aset.

Auditor independen menilai bahwa anomali pencatatan ini bukan terjadi secara tidak sengaja. Mengingat nilai proyek yang signifikan serta dokumen pendukung yang saling bertentangan, dugaan perencanaan sistematis sangat mungkin terjadi.

Lembaga Audit Anggaran Rakyat (LAAR) menjadi salah satu pihak pertama yang menyoroti kejanggalan pencatatan tersebut. Auditor senior LAAR, Dr. Rendra Mahavira, menyebut pola yang muncul menunjukkan adanya perbuatan terstruktur.

“Ini gejala salah saji material yang tidak bisa dianggap teknis semata,” jelas Rendra, Sabtu (29/11/2025).

Menurutnya, penggunaan BTT untuk membangun jembatan permanen sudah melanggar prinsip dasar penganggaran.“BTT itu untuk kejadian darurat, bukan membangun jembatan permanen. Jika bisa direncanakan, tidak boleh dibebankan ke BTT,” tegasnya.

Rendra menekankan bahwa jika belanja modal reguler dan BTT sama-sama dipakai untuk membayar fisik jembatan, maka kerugian negara yang timbul dapat setara dengan total nilai proyek, bahkan lebih.

Pusat Kajian Forensik Fiskal (PKFF) turut mengeluarkan analisis detil mengenai dugaan pencatatan ganda ini. Analis PKFF, Dina Kuswardani, menyebut bahwa pola pencatatan yang ditemukan cenderung tidak wajar dan mengarah pada potensi ghost asset.

“Ini bukan sekadar salah catat. Ini red flag terhadap potensi manipulasi laporan keuangan,” ujarnya.

PKFF mendorong dilakukannya pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh dokumen pembiayaan dan konstruksi, meliputi: Berita Acara Serah Terima (BAST)

Dokumen progres pekerjaan, Surat Penunjukan Kegiatan (SPK) darurat, Berkas reklasifikasi BTT ke belanja modal dan Gambar teknis (DED) dan dokumen pengawasan.

Sate Pak Rizki

“Jika dokumen teknis tidak lengkap atau tidak konsisten dengan kondisi jembatan, maka aset ini bisa dikategorikan ghost asset. Dalam audit, kerugiannya bisa 100�ri nilai kapitalisasi,” tambah Dina.

Pengamat hukum publik, Prof. Haris Nawawi, memandang bahwa dugaan ini berpotensi menyeret pejabat terkait pada ancaman pidana korupsi. Ia menekankan bahwa aspek administrasi tidak dapat dijadikan alasan apabila terjadi pembayaran ganda.

“Kalau satu proyek dibiayai dua pos anggaran dan realisasinya ganda, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terpenuhi. Itu unsur penyalahgunaan wewenang dan memperkaya pihak lain,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa penegakan hukum tidak boleh hanya berhenti pada kesalahan laporan keuangan. Jika terbukti ada sistematisasi penggunaan anggaran ganda, maka aparatur yang terlibat wajib diproses pidana.

“Praktik seperti ini berdampak langsung pada kualitas laporan keuangan daerah. Salah saji material dapat menggagalkan opini WTP,” tambahnya.

Kasus pencatatan aset ganda bukan hal baru dalam dunia pemerintahan daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pemerintah daerah pernah mendapatkan opini WDP bahkan Disclaimer akibat temuan aset yang dicatat dua kali, tidak jelas, atau berbeda dengan kondisi fisik di lapangan.

Temuan semacam ini kerap berawal dari, Ketidaksesuaian angka aset dengan realisasi pekerjaan, Perbedaan dokumen serah terima, Reklasifikasi yang dilakukan tanpa verifikasi teknis. Pola tersebut sama persis dengan dugaan yang kini menimpa Jembatan Kedungpeluk.

Organisasi masyarakat sipil di Sidoarjo mulai mendorong pemerintah daerah untuk membuka seluruh dokumen pembiayaan proyek. Mereka meminta akses terhadap: Alur penganggaran dan realisasi BTT, Proses reklasifikasi ke belanja modal, Bukti fisik serta BAST terbaru dan Pencatatan aset di BPKAD dan OPD teknis.

“Ini bukan sekadar soal jembatan. Ini soal transparansi dan integritas anggaran daerah,” kata seorang aktivis.

Masyarakat menilai bahwa keterbukaan dokumen akan menjadi kunci untuk memastikan tidak ada manipulasi atau rekayasa laporan keuangan.