MEMANGGIL.CO - Kekuasaan adalah apa yang dapat diperoleh seseorang/ kumpulan untuk mengamalkan ahli tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak dapat dilakukan melebihi kekuasaan yang diperoleh atau kemampuan untuk memengaruhi tingkah laku individu/ kelompok sesuai keinginan orang pelaku tersebut (Budiarjo, 2002).

Dalam implementasinya, kekuasaan tidak dapat terlepas dari kepemimpinan dan legitimasi. Ketiganya merupakan kesatuan yang terhubung dan tidak terpisahkan.

Pada 14 Februari 2024, masyarakat Indonesia akan melangsungkan hajatan lima tahun sekali berupa Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden. Terdapat tiga pasangan yang akan berkontestasi. Konstelasi ini memungkinkan khalayak untuk menentukan kriteria-kriteria pemimpin ideal yang akan memimpin negara Indonesia dalam lima tahun kedepan.

Karakteristik Pemimpin dalam Teori Kepemimpinan Jawa dan Islam

Kepemimpinan merupakan salah satu urgensi yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, khususnya yang masih berpegang teguh dan istiqamah dalam mempertahankan tradisi-tradisinya.

Pemimpin bak simbol wakiling hyang widi (wakil dari Tuhan) yang mengekspresikan segala bentuk kebijakan dalam kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini pun berlaku juga dalam Islam, ketika menyebut sosok pemimpin sebagai ulil amri dari Tuhan, Allah SWT.

Terdapat tiga kategori kepemimpinan dalam Jawa; nistha, madya, dan utama. Dari nomenklatur tersebut, masyarakat Jawa umumnya menginginkan sosok pemimpin yang berjiwa utama. Sekalipun pada kehidupannya lebih menekankan pada sikap luwes atau madya (tengah-tengah), urusan pemimpin merupakan prioritas penuh.

Selain itu, salah satu ciri yang ada dalam konsep kepemimpinan Jawa yaitu bersifat mistis. Fenomena pulung, wangsit, dan drajat merupakan beberapa indikator yang (mungkin) mengantarkan seseorang menjadi pemimpin. Dalam Jawa, hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan, legitimasi, dan legalitas bukanlah sesuatu yang primer atau wajib.

Penangkapan Islam berbeda dengan Jawa. Memang, ada hal-hal yang bersifat mirip, tetapi beda dalam operasional. Dalam Islam, wangsit atau pulung merupakan kemiripan wahyu; diberikan kepada Nabi dan Rasul, atau ilham; diberikan kepada manusia selain Nabi dan Rasul. Konteks ini dipergunakan dalam rangka penyebaran agama Islam. Atau dalam ranah media dakwah seperti kekuatan; Jawa menyebutnya dengan kasekten, terdapat seperti mujizat, karomah, dan maunah.

Hal-hal semacam ini memang tergolong penting, tetapi tidak sepenuhnya bertumpu terhadapnya. Terkait kepemimpinan, Islam menekankan pada karakteristik keilmuan dan kemampuan yang dimiliki oleh sosok pemimpin. Empat sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw (shiddiq, fathonah, amanah, tabligh) merupakan salah satu indikator yang harus dimiliki oleh pemimpin.

Selain itu, pengakuan dan legitimasi merupakan dua hal yang harus ada. Ketika seorang pemimpin hanya mengandalkan bukti ahistory yang dimilikinya, lantas bagaimana membuktikan hal itu secara logis dan diterima oleh khalayak? Ibarat mendengar sesuatu yang baru, tetapi tidak dapat membuktikan secara kewujudannya.

Di lain itu, ada hadits Nabi yang menunjukkan pentingnya pengakuan dan legitimasi. Bunyinya:

Artinya: Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah (kelompok), dan tidak ada jamaah kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada (gunanya) kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. (HR. Ad-Darimi: 253)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa sebuah kepemimpinan membutuhkan pengakuan dan legitimasi. Selain itu, ada sisi ketaatan yang merupakan salah satu ciri khas dalam kepemimpinan Islam. Sekalipun (andaikata) pemimpin tidak benar-benar menguasai aspek-aspek dalam hukum agama, setidaknya pokok-pokok ajaran dalam Islam tetap dilaksanakannya, baik sebagai pemimpin atau personal (amar maruf nahi munkar).

Konvergensi (persamaan) Kepemimpinan Jawa dan Islam

Dalam Jawa, seorang pemimpin ideal disebut dengan berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati (pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan). Perintahnya bersifat mutlak dan tidak terbantah (sabda pandhita ratu). Akan tetapi, fenomena ini menimbulkan kontradiktif yang menitikberatkan bahwa pemimpin tersebut tidak mempunyai celah dalam kesalahan. Seakan-akan, pemimpin tersebut seperti pengejewantahan Tuhan.

Berbeda dalam Islam. Manusia memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, termasuk pemimpin. Pemimpin memiliki tanggung jawab terhadap dirinya dan kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi:

Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya.

Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. (H.R. Bukhori).

Pertanggungjawaban merupakan urgensi yang harus dimiliki oleh seseorang. Tanpa mengemban sebuah jabatan yang mengharuskannya menjadi pemimpin, sudah selayaknya dia bertanggungjawab atas dirinya. Maka, ketika dipersamakan antara konsep kepemimpinan Jawa dengan Islam, terdapat beberapa hal:

Pertama, pemimpin memiliki wibawa atau pengaruh. Kedua, pemimpin memiliki legitimasi dhahir dan bathin. Artinya, selain karena kemampuannya dalam memimpin, dia juga tergolong taat dan tunduk dalam beragama. Ketiga, pemimpin mampu berikhtiar dalam mewujudkan tatanan negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto rahardjo atau dalam Islam disebut dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. (top)