Surabaya, MEMANGGIL.CO  – Di balik megahnya koridor rumah sakit dan aroma khas antiseptik, sebuah transformasi besar tengah bergulir dalam sistem kesehatan Indonesia. Bukan sekadar pergantian cat dinding atau penambahan alat medis, melainkan pergeseran mendasar dalam klasifikasi rumah sakit yang kini mulai berbasis pada kompetensi.

Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, tersimpan kegelisahan, harapan, dan realitas kontras antara rumah sakit milik negara dengan swasta yang tengah berjuang di garis depan pelayanan.

Suara dari "Dapur" Rumah Sakit Swasta

Bagi dr. Martha Siahaan, SH, MARS, MH.Kes, yang kini menjabat sebagai Plh. Direktur Utama RS Kemenkes Surabaya, memahami denyut nadi rumah sakit swasta adalah tentang empati. Sebelum menakhodai rumah sakit plat merah, pengalaman panjangnya di sektor swasta memberinya perspektif yang tajam.

"Kita harus bisa meraba perasaan teman-teman di RS swasta. Mereka tidak dibantu negara. Mereka harus berhitung setiap hari; bagaimana menggaji karyawan, membayar listrik, hingga operasional," ungkapnya.

Dilema paling nyata muncul saat berhadapan dengan birokrasi klaim, seperti BPJS Kesehatan atau Jasa Raharja. Di satu sisi, ada nyawa di ujung tanduk yang harus segera diselamatkan. Di sisi lain, tagihan operasional tak bisa menunggu "nanti".

"Ini benar-benar di persimpangan jalan. Ada nyawa orang yang harus kita selamatkan, tapi ada listrik yang harus tetap dibayar. Kalau menunggak, diputus," tambahnya lagi.

 

Dr. Martha menekankan pentingnya edukasi bagi masyarakat bahwa ada sistem pendukung seperti Jasa Raharja untuk kecelakaan lalu lintas sehingga rumah sakit tidak harus sendirian menanggung beban jaminan finansial di saat darurat.

Bayang-bayang Kapitalisme Medis

Kegelisahan senada disuarakan oleh dr. Didi Dewanto, Sp.OG, Direktur Utama RS Husada Utama sekaligus Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Jawa Timur. Transformasi rumah sakit berbasis kompetensi yang dicanangkan pemerintah dipandang sebagai pisau bermata dua.

"Sempat terbersit di benak kami, apakah ini akan mengarah ke kapitalisme?" ujar dr. Didi jujur.

Ia mengkhawatirkan jurang yang semakin lebar antara rumah sakit bermodal besar dengan rumah sakit daerah atau swasta kecil yang berjuang mandiri.

Sate Pak Rizki

Standar sarana, prasarana, dan alat kesehatan (alkes) yang tinggi memerlukan modal yang tak sedikit. Ia pun menitipkan harapan agar bantuan alat kesehatan dari Kementerian Kesehatan tidak hanya mengalir ke rumah sakit daerah, tetapi juga merangkul rumah sakit swasta demi satu tujuan: kualitas pelayanan masyarakat yang merata.

Menjawab Tantangan "Rujuk-Berantai"

Menanggapi kegelisahan tersebut, Ratih Dwi Lestari, S.Kep, MARS, Ketua Tim Kerja Penataan Sistem Rujukan Kemenkes RI, menjelaskan bahwa transformasi ini adalah amanah dari UU No. 17 tentang Kesehatan (Omnibus Law).

Tujuannya mulia: memastikan pasien tidak lagi menjadi "bola pingpong" yang dirujuk ke sana-kemari karena keterbatasan fasilitas. Pemerintah sedang menyusun klasifikasi rumah sakit berdasarkan kemampuan pelayanan dari level dasar, madya, hingga paripurna.

"Kami ditantang. Bagaimana caranya memastikan mutu tetap terstandar tapi akses tidak mengecil, apalagi dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, dari Papua hingga Aceh," jelas Ratih.

Dengan sistem berbasis kompetensi ini, sebuah rumah sakit di level tertentu wajib mampu menyelesaikan ratusan jenis diagnosa dan prosedur secara tuntas. Jika sebuah rumah sakit sudah berada di level Madya, mereka harus memiliki SDM, alat, dan sarana yang cukup untuk menangani kasus tertentu tanpa harus merujuk balik ke pusat.

Menanti Fajar Baru di RS Kemenkes Surabaya

Di tengah transisi ini, RS Kemenkes Surabaya sendiri tengah bersiap menjadi motor penggerak. Dr. Martha mengungkapkan bahwa layanan canggih seperti radioterapi dan kedokteran nuklir sedang dalam tahap finalisasi persyaratan untuk melayani pasien BPJS.

"Begitu dinyatakan go untuk BPJS, kami akan segera sosialisasi ke masyarakat. Kami ingin memastikan layanan canggih bukan lagi sesuatu yang jauh dan sulit digapai," pungkas dr. Martha.

Transformasi kesehatan memang bukan perkara membalikkan telapak tangan. Ia adalah sebuah perjalanan panjang yang memerlukan sinergi antara regulasi pemerintah yang adil, napas panjang rumah sakit swasta, dan pemahaman masyarakat sebagai penerima manfaat.

"Di ujung jalan, harapannya hanya satu: tak ada lagi nyawa yang terhenti hanya karena birokrasi atau keterbatasan alat," Martha