MEMANGGIL.CO – Pemerintah Kabupaten Jombang mengakui kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) hingga 1.202% yang berlaku sejak 2024 berasal dari perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang keliru. Namun, alih-alih dibatalkan, Bupati dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) memilih tetap memungut pajak dengan angka salah itu sampai 2026.
Keputusan ini membuat sedikitnya 5.000 warga resmi mengajukan keberatan sepanjang 2025, sementara tahun lalu jumlahnya mencapai 11.000. Bagi ribuan warga, kebijakan ini bukan lagi sekadar kenaikan pajak, melainkan pemalakan resmi dengan stempel pemerintah.
“Pendataan massal sudah selesai November 2024, tapi belum sempat diolah, jadi pajak 2025 sama dengan 2024. Perbaikan baru bisa kami terapkan 2026,” kata Kepala Bapenda Jombang Hartono, Selasa (12/8).
Penjelasan itu justru memicu kemarahan warga. Heri Dwi Cahyono (61) mendapati PBB tanah dan rumahnya di Jalan dr Wahidin Sudiro Husodo melonjak dari Rp292.631 (2023) menjadi Rp2,31 juta (2024). Tanah lain miliknya di Dusun Ngesong VI bahkan naik 1.202% menjadi Rp1,16 juta. “Jelas saya tidak mampu bayar, sampai sekarang belum saya bayar,” tegasnya.
Joko Fattah Rochim (63) memilih protes dengan membayar pajak menggunakan uang koin pecahan Rp200 hingga Rp1.000 yang ia bawa dalam galon air mineral. Pajak rumahnya naik 370%, dari Rp334 ribu menjadi Rp1,23 juta. “Ini uang celengan anak saya sejak SMP. Saya minta bupati batalkan kenaikan ini,” ujarnya.
Namun, meski di Kabupaten Pati kenaikan PBB 250% saja dibatalkan akibat protes publik, Jombang tetap keras kepala. Hartono hanya menyebut sebagian objek pajak malah turun, seakan menghapus fakta bahwa sebagian lain melonjak hingga ribuan persen.
Hasilnya, warga Jombang harus menanggung dua tahun penuh pajak yang secara resmi diakui keliru, tanpa jaminan ganti rugi. Sebuah ironi, ketika pemerintah daerah justru menjadi pihak yang paling menikmati kesalahan yang mereka ciptakan sendiri.