MEMANGGIL.CO – “Kaliren kabeh!”, teriakan itu menggema beberapa kali di halaman Kantor Pemkab Tuban, siang yang terik, Selasa (7/10/2025).
Suaranya itu campur aduk antara amarah dan kesedihan. Di antara kerumunan, beberapa emak-emak pedagang terlihat menitikkan air mata. Ada yang memeluk gerobaknya, ada yang hanya diam, menunduk, menahan perih di dada.
Bagi mereka yel-yel “Kaliren kabeh (semua kelaparan)” menjadi simbol jeritan hati ratusan pedagang kaki lima (PKL) Pantai Boom, dan mahasiswa PMII Tuban yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Bupati. Mereka datang bukan untuk membuat gaduh, melainkan untuk didengar karena sudah terlalu lama hidup dalam sepi dan ketidakpastian.
“Kita menuntut keadilan!” teriak massa demo sambil mengangkat poster-poster sederhana yang ditulis dengan spidol hitam di atas kertas karton.
Di antara tulisan-tulisan itu, terbaca kalimat getir mulai “Dodolan oleh 10.000 muleh olehe padu, Perdamu membunuhku, kebaikanmu yang kutunggu, Berikan solusi, bukan intimidasi, kami bukan sampah yang dibuang begitu saja, kami butuh bukti bukan janji manis,” dan lainnya.
Kalimat-kalimat itu bagai potret luka yang tak lagi bisa ditutup. Luka yang bermula dari kebijakan Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky, yang memindahkan PKL dari kawasan Alun-alun Tuban ke Pantai Boom.
Sudah sepuluh bulan mereka bertahan di lokasi baru. Namun, bukannya berkembang, justru sepi pembeli, penghasilan anjlok, dan kehidupan kian berat. Anak-anak mereka terancam putus sekolah, dapur nyaris tak mengepul, dan satu per satu pedagang mulai kehilangan harapan.
“Jangankan bayar sekolah, untuk makan sehari-hari saja tak bisa,” ucap Sri Bakti, pedagang siwalan. Suaranya serak, matanya sembab.
Ia bercerita, sudah berbulan-bulan tidak mendapat penghasilan. Lokasi baru di Pantai Boom sepi pengunjung, sementara setiap kali nekat kembali berjualan di alun-alun, dagangannya dirampas oleh petugas Satpol PP.
“Anak kami dua, disabilitas. Buat makan saja susah,” kata pelan, sambil mengusap air mata yang jatuh ke pipi.
Tak jauh darinya, Titik, pedagang nasi dan kopi, menunduk dalam diam. Ia menahan air mata ketika menyebutkan bahwa SPP anaknya di pondok pesantren sebesar Rp900.000 per bulan kini tertunggak selama setahun.
“Warung sepi, nggak ada yang beli. SPP anak belum bisa saya bayar,” keluhnya.
Di tengah terik matahari dan keringat yang bercucuran, mereka tetap berdiri tegak, memeluk gerobak jualan yang dibawa ke halaman Pemkab.
Gerobak itu bukan sekadar alat dagang tapi simbol kehidupan, saksi perjuangan, dan harapan agar pemerintah kembali melihat mereka sebagai manusia yang berhak hidup layak.
Bupati Dinas Luar Kota
Namun harapan itu kembali kandas. Ketika massa meminta Bupati Tuban menemui mereka, jawaban yang datang justru mengecewakan.
“Mohon maaf, Bupati sedang dinas luar ke Jakarta,” ujar Agus Wijaya, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Tuban di hadapan massa.
Agus Wijaya berusaha menenangkan para pedagang. Ia berjanji akan mencarikan solusi terbaik, menata kawasan Boom agar menjadi pusat perdagangan, dan meminta agar para PKL tidak lagi berjualan di sekitar alun-alun demi “keindahan kota.”
“Tidak boleh jualan di sekitar alun-alun. Kami tidak ada niat buruk,” ujarnya dengan suara hati-hati.
Namun kalimat itu justru membuat suasana makin panas. Para PKL dan mahasiswa menilai pemerintah terlalu jauh dari realitas rakyat kecil.
“Katanya tidak ada niat buruk, tapi kami dibiarkan kelaparan!” seru salah satu mahasiswa di tengah kerumunan.
Aksi itu pun diakhiri dengan ancaman tegas. Jika hingga akhir pekan Bupati Tuban tidak menemui mereka, massa berjanji akan kembali turun dengan jumlah yang lebih besar, dan para pedagang akan tetap berjualan di alun-alun sebagai bentuk perlawanan.
“Kita minta teman-teman tetap bisa berjualan,” ujar Ahmad Wafa Amrillah, Ketua PMII Tuban.