MEMANGGIL.CO – Kejaksaan Negeri (Kejari) Tuban berhasil menguak dugaan korupsi Pendapatan Asli Desa (PADes) Kedungsoko, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, yang nilainya mencapai Rp1,2 miliar lebih, dengan melibatkan aparatur desa dan pengurus lembaga petani.
Pada kasus itu, tiga orang telah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Desa Kedungsoko Rifai, Ketua HIPPA Tirto Sandang Pangan Eko, dan Bendahara HIPPA Rahmat Wahyudi.
Kamis (23/10/2025), ketiganya digiring dari Kantor Kejari Tuban menuju Lapas Kelas II B Tuban, mengenakan rompi tahanan berwarna oranye, simbol awal dari proses hukum yang menanti.
Modus di Balik HIPPA
Kasus ini bermula dari hasil penyelidikan panjang tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Tuban, yang menemukan kejanggalan dalam pengelolaan dana Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Tirto Sandang Pangan, sebuah lembaga yang telah berkembang menjadi BUMDes.
Alih-alih menyalurkan hasil usaha untuk kemakmuran desa, para tersangka justru tidak menyetorkan seluruh pendapatan HIPPA ke kas desa.
Selain itu, mereka juga menyelewengkan hasil lelang pengelolaan tanah kas desa (TKD) selama tiga tahun anggaran berturut-turut, dari 2022 hingga 2024.
“Kerugian negara akibat perbuatan itu ditaksir sebesar Rp1.260.590.519,” ungkap Kasi Pidsus Kejari Tuban, Yogi Natanael Cristianto.
Menurutnya, perbuatan ini tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada pengelolaan air dan lahan pertanian desa.
Dari Penggeledahan hingga Bukti Berlapis
Penelusuran kasus ini mencapai titik terang setelah Kejari Tuban melakukan penggeledahan di Balai Desa Kedungsoko pada Rabu, 7 Agustus 2025. Penggeledahan tersebut dilakukan berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejari Tuban Nomor: PRINT-1245/M.5.33/Fd.2/08/2025.
Dari lokasi itu, penyidik menemukan dan menyita tumpukan dokumen penting yang menjadi kunci pembuktian, antara lain buku tabungan atas nama HIPPA Tirto Sandang Pangan, Kwitansi pembayaran BOP HIPPA, dan lainnya.
Turut pula diamankan Peraturan Desa (Perdes), AD/ART HIPPA, serta Surat Keputusan Bupati Tuban tentang pengangkatan kepala desa, dokumen yang memperkuat hubungan struktural antara pemerintah desa dan lembaga pengelola air tersebut.
Kejaksaan Perketat Pengawasan Dana Desa
Dengan dua alat bukti yang cukup kuat, penyidik akhirnya menetapkan dan menahan ketiga tersangka untuk 20 hari ke depan. Dalam masa penahanan itu, tim Pidsus akan melengkapi berkas perkara agar segera dilimpahkan ke pengadilan.
"Penahanan ini untuk kepentingan penyidikan. Kami ingin memastikan proses hukum berjalan transparan dan tuntas,” ujar Yogi Natanael.
Para tersangka dijerat dengan Primair Pasal 2 ayat (1) Subsider Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya bahkan bisa mencapai penjara seumur hidup.
Menyentuh Akar Korupsi Desa
Kasus Kedungsoko menjadi pengingat bahwa korupsi di level desa seringkali bersembunyi di balik program-program pengelolaan masyarakat yang tampak kecil tapi mengalirkan dana besar. Dalam kasus ini, lembaga yang seharusnya menyalurkan air bagi pertanian justru menjadi celah bagi penyalahgunaan anggaran.
Kejaksaan Negeri Tuban berkomitmen melanjutkan pengawasan dan penyelidikan terhadap pengelolaan dana desa di wilayah lain.
“Setiap rupiah uang negara harus kembali ke masyarakat. Tidak boleh ada ruang untuk penyimpangan,” tegasnya.
Kini, ketiga tersangka menunggu proses peradilan, publik pun berharap langkah tegas Kejari Tuban ini menjadi sinyal kuat, bahwa upaya melawan korupsi tak mengenal tingkatan jabatan, dan keadilan akan tetap menetes hingga ke akar desa.