Aceh, MEMANGGIL.CO – Banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang telah lama surut. Namun bagi sebagian warga terdampak, bencana itu belum benar-benar berakhir.

Memasuki hari ke-21 pascabanjir, lumpur yang mengeras masih menutup rumah-rumah warga, batang kayu besar berserakan, dan bantuan alat berat yang dijanjikan tak kunjung hadir, Kamis (18/12/2025).

Di tengah narasi pemulihan yang mulai digaungkan, realitas di lapangan menyisakan kelelahan dan kesunyian. Mereka yang bersuara kerap dianggap mengeluh, sementara yang memilih diam dinilai telah menerima keadaan. Padahal, luka yang tertinggal masih nyata, baik secara fisik maupun batin.

“Bersuara dianggap berisik, diam dan sabar dianggap membaik. Hari ke-21 pascabanjir, sedih sudah tidak lagi. Aku memilih mengikhlaskan, karena Allah yang membantu dan menjaga,” tulis pemilik akun Instagram @Ummaezraa, salah satu korban banjir, dalam unggahan yang viral di media sosial.

Unggahan tersebut merekam kondisi pascabanjir yang jauh dari kata pulih. Lumpur yang awalnya cair kini mengeras seperti tanah, menyatu dengan lantai rumah dan perabotan.

Di atasnya, ranting, balok kayu, hingga sisa pohon besar masih menumpuk, membuat proses pembersihan secara manual nyaris mustahil dilakukan.

Dalam keterangannya, Ummaezraa mengungkapkan keluarganya terpaksa mengungsi sementara ke rumah mamak di kampung lain yang berjarak sekitar 60 menit perjalanan.

Setiap hari mereka harus bolak-balik ke rumah terdampak, berusaha menyelamatkan barang-barang yang masih tersisa dari terjangan banjir.

“Terima kasih banyak untuk teman-teman semua atas doa-doa baiknya. Terima kasih juga untuk yang sudah menanyakan kabar dan kondisi kami. Alhamdulillah, sampai detik ini kami masih diberi kesehatan, keselamatan, dan kekuatan,” tulisnya.

Sate Pak Rizki

Ironi kian terasa ketika bantuan alat berat tak kunjung datang. Padahal, tumpukan lumpur dan kayu besar mustahil disingkirkan hanya dengan tenaga manusia.

Ia menyebut sempat ada tawaran penyewaan alat berat dari pihak tertentu dengan biaya mencapai Rp700 ribu per jam, angka yang mustahil dijangkau di tengah kondisi pascabencana.

“Bahkan lima hari kerja pun belum tentu selesai, dan kami belum memiliki biaya untuk itu,” tulisnya.

Hingga hari ke-21 pascabanjir, belum terlihat kehadiran alat berat dari pemerintah untuk membantu membersihkan puing-puing bencana.

Situasi ini menghadirkan ironi dalam narasi pemulihan. Di atas laporan dan pernyataan resmi, wilayah terdampak disebut mulai pulih. Namun di lapangan, para korban masih berjibaku dengan sisa-sisa bencana yang perlahan menguras tenaga, emosi, dan harapan.

Kisah yang dibagikan @Ummaezraa menjadi pengingat bahwa bencana tidak berhenti ketika air surut. Justru setelahnya, fase paling berat dimulai saat korban harus bangkit, membersihkan, dan menata ulang kehidupan, sering kali dengan keterbatasan bantuan dan perhatian.

Di tengah lumpur yang mengeras dan kayu-kayu yang belum terangkat, warga bertahan dengan keteguhan hati dan keyakinan. Namun tanpa kehadiran nyata dari pihak berwenang, pemulihan yang utuh dan bermartabat masih terasa jauh dari jangkauan.