Blora, MEMANGGIL. CO — Aktivitas galian C ilegal di Dukuh Jegong RT 06 RW 02, Desa Tempellemahbang, Kecamatan Blora, disorot tajam setelah terungkap berjalan tanpa izin meski berlangsung secara terbuka selama dua hari penuh. Tidak ada penghentian dari aparat desa maupun petugas keamanan, meski puluhan truk keluar masuk membawa tanah. 

Koim, pemilik tanah, mengakui kegiatan tersebut sepenuhnya belum mengantongi izin dari warga, kepala desa, hingga unsur Bhabinkamtibmas dan Babinsa.

Ia mengaku hanya mengikuti arahan pihak pembeli tanah yang berjanji akan mengurus seluruh perizinan.

“Saya betul belum izin. Saya pasrah kepada pihak kedua yang katanya izinnya akan diurus oleh mereka,” ujarnya.

Data di lapangan menunjukkan sedikitnya 80 rit truk keluar masuk lokasi sejak Senin, 17 November 2025. Tanah tersebut digunakan untuk meratakan lahan pembangunan SPBU baru di Kecamatan Jiken, yang lokasinya berada tak jauh dari rumah Adiria, anggota Komisi C DPRD Blora yang juga Wakil Ketua Fraksi Gerindra.

Informasi ini memunculkan dugaan adanya potensi konflik kepentingan, mengingat proyek tersebut berdampingan dengan kediaman pejabat yang membidangi infrastruktur.

Di balik aktivitas itu, warga justru menanggung dampak langsung. Jalan desa menjadi licin dan berbahaya karena tumpahan tanah dan debu yang terbawa truk.

Seorang anak dilaporkan terjatuh dari sepeda akibat kondisi jalan yang berubah licin setelah lintasan truk pengangkut tanah. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada upaya pembersihan ataupun tanggung jawab dari pihak pelaksana galian.

Tokoh masyarakat Desa Tempellemahbang, Suwar, membenarkan seluruh kegiatan berlangsung tanpa satu pun izin resmi.

Ia menyebut galian tersebut disebut-sebut untuk kepentingan perluasan pertanian, namun kenyataannya tanah justru dibawa ke lokasi proyek SPBU.

“Belum ada izin Kepala Desa, Bhabinkamtibmas, atau Babinsa. Tapi truk sudah keluar masuk sejak dua hari lalu,” ujarnya.

Sistem pembayaran pun kini dipertanyakan. Tanah dihargai Rp 15.000 per kubik, dengan pembagian Rp 10.000 untuk pemilik tanah dan Rp 5.000 untuk kas dukuh.

Namun, baik pemilik maupun warga belum menerima sepeser pun. Dana disebut baru diberikan setelah mencapai 100 rit truk, sebuah skema yang dinilai rentan menimbulkan penyalahgunaan.

Warga menilai kegiatan ini dibiarkan tanpa pengawasan, padahal galian C ilegal termasuk kategori pelanggaran berat yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keselamatan publik.

Masyarakat mendesak pemerintah desa, kepolisian, hingga dinas terkait segera turun tangan menghentikan aktivitas tersebut sebelum dampaknya semakin meluas.