MEMANGGIL.CO - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait rangkap jabatan menteri sebagai pengurus partai politik.
Gugatan yang diajukan sejumlah warga negara itu dinilai tidak jelas dalam menjabarkan kerugian hak konstitusional yang dialami.
Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (17/7/2025).
“Amar putusan mengadili menyatakan permohonan para Pemohon Perkara Nomor 95/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima,” kata Suhartoyo.
Permohonan ini sebenarnya menyoal Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Para Pemohon mempersoalkan praktik rangkap jabatan menteri sebagai pengurus parpol, yang menurut mereka berdampak buruk pada kualitas pelayanan publik dan melemahkan prinsip demokrasi.
Namun menurut MK, para Pemohon tidak bisa menunjukkan hubungan langsung antara norma yang diuji dengan kerugian konstitusional mereka.
“Para Pemohon tidak dapat menunjukkan keterkaitan langsung keberlakuan Pasal 23 huruf C UU 39/2008 dengan hak konstitusionalnya, baik sebagai warga negara, mahasiswa, maupun aktivitis,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
MK juga menilai dalil para Pemohon tentang rusaknya sistem presidensial dan hilangnya fungsi check and balances karena menteri rangkap jabatan masih bersifat spekulatif dan tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat yang nyata.
Selain itu, dari sisi legal standing, para Pemohon dinilai tidak punya posisi hukum yang sah untuk mewakili partai politik atau organisasi mana pun dalam permohonan ini.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon tidak spesifik dan tidak jelas memiliki keterkaitan dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya,” tambah Saldi.

Dalam sidang pendahuluan sebelumnya, kuasa hukum Pemohon, Abu Rizal Biladina, menyampaikan bahwa rangkap jabatan menteri sebagai pengurus parpol menyebabkan tidak profesionalnya pengangkatan menteri dan berdampak pada buruknya pelayanan publik.
“Para menteri yang melakukan praktik korupsi sebagian besar merupakan menteri yang rangkap jabatan sebagai pengurus parpol sehingga hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” ujarnya pada sidang 28 April 2025 lalu.
Para Pemohon juga menganggap fenomena ini menyebabkan praktik pragmatisme partai politik menjadi hal yang lumrah, bahkan membahayakan fungsi partai sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi.
Mereka juga menuding tren rangkap jabatan menteri ini bermula sejak masa pemerintahan Presiden SBY. Kala itu, tercatat enam pengurus parpol menjadi menteri, termasuk Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Tren itu berlanjut hingga era Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto, di mana sembilan pengurus parpol diangkat menjadi menteri.
Beberapa nama yang disebut antara lain Prabowo Subianto (Gerindra), Zulkifli Hasan (PAN), dan Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat).
Para Pemohon menilai praktik tersebut merupakan hasil kompromi politik presiden terpilih dengan partai-partai pengusungnya. Mereka menyebut partai yang semula bukan pengusung presiden, namun masuk koalisi, hampir selalu diganjar kursi menteri.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai mencakup juga pengurus partai politik.
Namun karena dinilai tidak memiliki dasar kerugian konstitusional yang konkret, permohonan tersebut akhirnya tak bisa diterima MK.