MEMANGGIL.CO - ‎Di zaman yang apa-apa serba digital ini, hampir semua hal dapat dilihat oleh orang lain. Tiap kebaikan yang dilakukan dapat didokumentasikan oleh banyak orang dan jika beruntung bisa mendapat ribuan komentar positif dari netizen. Dari situ, makin banyak orang yang berlomba-lomba menampakkan sisi terbaiknya di media sosial. Namun dibalik itu, apakah kita masih mengerti apa arti dari ikhlas itu sendiri?

‎Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, menulis bahwa ikhlas adalah memurnikan niat dari segala sesuatu selain Allah. Kalimat singkat yang nampak sederhana itu justru yang paling sulit diamalkan. Sebab sifat manusia yang cenderung ingin dihargai, disukai, dan diakui. Padahal, amal yang benar-benar bernilai di sisi Allah hanyalah amal yang dilakukan tanpa pamrih.

‎1. Ikhlas yang Tidak Terlihat

‎Imam Al-Ghazali menggambarkan amal tanpa keikhlasan seperti tubuh tanpa ruh, terlihat hidup namun sebenarnya kosong. Seseorang bisa saja tampak terlihat saleh, rajin membantu, dan gemar bersedekah, tapi kalau hatinya masih ingin dilihat atau dipuji, amal itu kehilangan maknanya.

‎Di era digital, ujian keikhlasan terasa semakin nyata. Setiap kebaikan mudah disiarkan, setiap amal bisa jadi konten. Kadang niat yang awalnya tulus perlahan dapat berubah disaat komentar dan like semakin membludak. Mungkin tanpa sadar, kita lebih senang jika amal itu ramai diperbincangkan daripada sekadar dinilai oleh Allah.

‎Jika kita mau memahami arti Ikhlas, yang mana tetap berbuat baik meski tak ada yang tahu. Maka kita tidak butuh pengakuan maupun menunggu ucapan terima kasih dari orang lain untuk kebaikan yang kita perbuat. Terbatas hanya antara kita dan Tuhan. Sederhana, tapi justru di situlah keindahan ikhlas yang sebenarnya.

‎2. Amal yang Tumbuh dari Niat

‎Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”

Itulah sebabnya, Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga hati sebelum memulai amal. Karena amal sekecil apa pun bisa jadi besar nilainya jika dilakukan karena Allah, sementara amal besar bisa menjadi ringan jika niatnya bercampur dengan urusan dunia.

‎Orang yang ikhlas tidak peduli siapa yang tahu dan siapa yang tidak. Ia merasa cukup karena tahu Allah melihat. Ia tidak sibuk dengan pandangan manusia, karena yang diharap hanyalah ridha dari Pencipta.

‎3. Menjaga Niat di Tengah Gempuran Pujian

‎Di masa sekarang, menjaga keikhlasan bukan hal mudah. Segalanya bisa diunggah, disebarkan, dan diukur dengan angka. Kadang kita ingin berbagi inspirasi, tapi di sisi lain, hati juga menanti pujian. Karena itu, setiap kali hendak beramal, mungkin perlu kita tanyakan terlebih dahulu dalam hati: “Untuk siapa sebenarnya diriku melakukan ini?”

‎Ikhlas bukan berarti harus menyembunyikan semua amal, tapi bagaimana kita bisa tetap lurus niatnya meski dilihat banyak orang. Kalau pun ada pujian, jadikan itu sebagai doa. Kalaupun tidak ada yang tahu, kita tetap senang karena Allah pasti melihat.

‎4. Jihad Sunyi Bernama Ikhlas

‎Ikhlas bukan perkara sekali jadi. Ia harus terus dijaga, diperiksa, dan diperbarui. Kadang hari ini hati ikhlas, besok sudah goyah lagi. Karena itu, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa keikhlasan adalah jihad paling berat, sebab musuhnya bukan orang lain melainkan diri sendiri.

‎Salah satu tulisan beliau dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, “Barang siapa mencari dunia dengan amal akhirat, maka ia telah menjual sesuatu yang mulia dengan sesuatu yang hina.” Kalimat itu terasa menampar di era sekarang, ketika amal bisa dijadikan konten dan ibadah bisa jadi tren.

‎Ikhlas adalah amal yang bekerja dalam diam. Tidak butuh penonton, tidak menunggu tepuk tangan. Ia seperti akar yang tersembunyi tapi membuat pohon tetap tegak. Dalam keheningan itulah Allah menilai, dan di situlah kemurnian amal diuji.

‎Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita tunjukkan, tapi seberapa jernih niat kita saat melakukannya. Amal yang kecil namun tulus jauh lebih bernilai daripada amal besar namun dipenuhi harapan dunia.