MEMANGGIL.CO - Akhir-akhir ini, sangat mengemuka dan menjadi perbicangan ramai warganet perihal bocoran keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hendak mengubah sistem pemilu Indonesia dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup. Diawali dengan unggahan dari Denny Indrayana, seorang Pakar Hukum Tata Negara dan mantan Wamenkumham Era Presiden Ke-6 SBY, yang menyatakan bahwa dirinya mendapat informasi kalau MK bakal memutuskan gugatan Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu dengan putusan proporsional tertutup.
Gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan sistem proporsional terbuka ke tertutup di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Registrasi Perkara 114/PUU-XX/2022 tersebut, diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Unggahan Denny Indrayana itu, sontak membuat kaget banyak pihak dan ditanggapi macam-macam warganet. Bahkan keriuhan terus bergulir dan berkembang menjadi tuduhan pembocoran rahasia negara yang berujung pelaporan. Tuduhan tersebut tentu saja segera disanggah oleh Denny Indrayana. Penulis tidak hendak menyoroti perihal itu, tapi mencoba menyimak dan mencerna lima (5) poin yang disampaikan dalam uggahan Denny tersebut.
Pertama, MK memutuskan tidak menerima gugatan pemohon. Artinya, pemohon dianggap tidak berhak mengajukan gugatan. Jadi, sistem proporsional terbuka tetap berlaku pada Pemilu 2024.
Kedua, MK memutuskan menolak permohonan. Sama, sistem proporsional terbuka tetap digunakan pada Pemilu 2024.
Ketiga, MK memutuskan mengabulkan seluruh permohonan. Artinya, sistem pemilu berubah menjadi proporsional tertutup atau mencoblos gambar partai. Dalam hal ini, MK bisa menetapkan masa pemberlakuannya, apakah berlaku mulai Pemilu 2024 atau Pemilu 2029.
Keempat, MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan. MK memerintahkan agar pemilu menggunakan sistem campuran, yakni sistem proporsional tertutup dengan memperhatikan perolehan suara calon anggota legislatif (caleg). MK pun bisa memutuskan sistem campuran ini berlaku mulai dari Pemilu 2024 atau Pemilu 2029.
Kelima, MK memutuskan mengabulkan sebagian. Artinya menggunakan sistem pemilu campuran beda level. Penerapannya bisa mulai dari Pemilu 2024 atau Pemilu 2029.
Apa Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup?
Paparan Denny tersebut, sisi positifnya, menjadikan banyak warganet menjadi bertanya-tanya, ingin tahu lebih dalam mengenai Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup, lalu apa perbedaannya?Sistem proporsional adalah sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Dalam sistem proporsional ini, ada kemungkinan penggabungan partai atau koalisi untuk memperoleh kursi. Sistem Proporsional biasa juga disebut Sistem Perwakilan Berimbang atau Multi Member Constituenty. Sistem pemilu proporsional dibagi menjadi dua, yakni sistem pemilu proporsional tertutup dan sistem pemilu proporsional terbuka. Sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem pemilihan umum di mana pemilih mencoblos partai politik tertentu.
Kemudian partai yang menentukan nama-nama yang duduk di menjadi anggota dewan. Secara singkat, sistem proporsional tertutup adalah sistem coblos gambar partai politik.
Sedangkan sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih memiih langsung wakil-wakil legislatifnya untuk duduk menjadi anggota dewan. Secara singkat, sistem proporsional terbuka adalah sistem coblos caleg.
Berikut perbedaan pemilu sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup:
1. Pelaksanaan
Pada pemilu proporsional terbuka, parpol mengajukan daftar calon yang tidak disusun berdasarkan nomor urut dan tanpa nomor di depan nama. (Biasanya susunannya hanya berdasarkan abjad atau undian). Sedangkan pada pemilu proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik.2. Metode pemberian suara
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, pemilih memilih salah satu nama calon. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup, pemilih memilih partai politik tertentu.3. Penetapan calon terpilih
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.4. Derajat keterwakilan
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, memiliki derajat keterwakilan yang tinggi karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya. Pada pemilu sistem proporsional tertutup, kurang demokratis karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif. Pilihan partai politik belum tentu pilihan pemilih.5. Tingkat kesetaraan calon
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, memungkinkan hadirnya kader yang tumbuh dan besar dari bawah dan menang karena adanya dukungan massa. Pada pemilu sistem proporsional tertutup, didominasi kader yang mengakar ke atas karena kedekatannya dengan elite parpol, bukan karena dukungan massa.6. Jumlah kursi dan daftar kandidat
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Pada pemilu sistem proporsional tertutup, setiap partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan atau dapil.Mana yang Lebih Ideal untuk Indonesia?
Dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, sistem proporsional terbuka dan tertutup keduanya pernah diterapkan. Penerapan sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada pemilu tahun 1955, pemilu orde baru (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), dan pemilu tahun 1999.Barulah pada pemilu tahun 2004 dan seterusnya, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. Hal ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Menuju Pemilu 2024, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017, Indonesia masih menerapkan sistem proporsional terbuka di mana penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Lalu di antara keduanya, mana yang ideal? Sejatinya, tidak ada sistem pemilu yang benar-benar ideal. Melainkan sistem pemilu yang relevan sesuai dengan kebutuhan suatu negara dan menjadi seperangkat instrumen yang bisa disesuaikan. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan pemilu sistem proporsional terbuka, mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih.Terbangunnya kedekatan antarpemilih. Pada sistem pemilu proporsional terbuka ini dianggap memberikan pemilih lebih banyak fleksibilitas dalam memilih kandidat, karena mereka dapat memilih sesuai dengan preferensi pribadi. Adapun kekurangan pemilu sistem proporsional terbuka adalah peluang terjadinya politik uang sangat tinggi.
Membutuhkan modal politik yang cukup besar. Itulah mengapa ada pendapat bahwa pemilu itu ongkosnya mahal. Kemudian sistem proporsional terbuka lebih rumit dalam penghitungan hasil suaranya dan sulit dalam menegakkan kuota gender dan etnis.
Pada pemilu sistem proporsional tertutup, memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya. Mampu meminimalisir praktik politik uang. Sistem ini dianggap memberikan peluang yang sama bagi semua partai untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, meskipun tidak semua partai akan dapat memenangkan pemilihan secara absolut.
Pada pemilu sistem proporsional tertutup, kekurangannya pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai mereka. Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat. Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu. Karena sejatinya tidak ada sistem pemilu yang benar-benar ideal, maka kegaduhan di jagad perpolitikan nasional tentang tetap proporsional terbuka atau berganti proporsional tertutup yang mungkin akan diputus MK, tidak perlu terjadi. Menurut penulis, penolakan atas putusan proporsional tertutup lebih karena ketidaksiapan partai poltik atas pemberlakuan sistem pemilu proporsional tertutup. Selama ini sudah terbiasa dan nyaman dengan pemilu sistem proporsional terbuka.
Untuk partai besar dan mapan, akan lebih nyaman dengan proporsional tertutup. Karena partai tentunya sudah mempunyai sistem kaderisasi yang baik dan basis massa yang besar. Namun bagi partai kecil dan partai baru, sistem proporsional terbuka lebih menguntungkan. Karena memungkinkankan untuk mencari suara dengan jalan pintas dengan jalan memasang vote getter yng populer dan bermodal kapital besar sebagai caleg. Adapun alasan para pemohon gugatan ke MK yaitu bahwa dalam sistem proporsional terbuka yang dicalonkan adalah orang-orang yang popular, dan tidak punya pengalaman mengelola organisasi partai politik. Tidak mengutamakan kader partai politik yang sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dalam mengurus dan mengelola organisasi partai politik.
Alasan itu absurd. Karena dalam proporsional terbuka, yang mencalonkan juga partai politik, dan siapapun yang didaftarkan punya peluang yang sama. Popularitas itu hanya priviledge. Yang menentukan keterpilihan adalah rakyat, bukan partai politik. Jika kemudian yang terpilih tidak punya pengalaman mengelola organisasi, maka partai politik bisa membuat sekolah partai atau pelatihan kepemimpinan dan manajemen partai politik. Memberi kesempatan yang luas dan sama kepada kader untuk berkiprah dan mendapatkan pengalaman. Memang kemudian, yang terpilih bisa saja tidak linier dengan kehendak (elit) partai politik.
Perihal Putusan Mahkamah Konstitusi, akan lebih baik jika tidak diputuskan ditengah jalan saat pemilu sudah berjalan hampir dua belas bulan ini. Atau putusan MK itu mengatur masa pemberlakuannya yang surut hingga Pemilu tahun 2029. Saat ini, tahapan pemilu sudah masuk tahap pendaftaran caleg. Jadi keputusan dengan waktu yang mendesak tentu saja akan merugikan caleg yang sudah berharap banyak dengan sistem proporsional terbuka.
Penulis berpendapat, sistem pemilu proporsional terbuka masih diperlukan saat ini untuk mendorong reformasi partai politik. Ongkos politik yang dianggap menjadi mahal, adalah menjadi tugas besar bersama antara partai politik, penyelenggara pemilu, masyarakat sipil dan para pihak untuk mereduksinya dengan mengedukasi dan mencerahkan seluruh masyarakat bangsa. Akan tetapi, pemilihan pemimpin dan wakil rakyat secara langsung dengan sistem proporsional terbuka lebih menebalkan kedaulatan rakyat di dalam konteks demokrasi Indonesia kekinian. Tabik.
Oleh: Ita Sadrini A, Komisioner KPU Kabupaten Blora 2013-2018