MEMANGGIL.CO - Tan Malaka mungkin bukan nama yang langsung muncul ketika membahas tokoh kemerdekaan Indonesia. Tapi sebenarnya, ia adalah sosok yang begitu besar pengaruhnya, hingga dijuluki Bapak Republik Indonesia.

Tan Malaka secara resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No. 53, namun sejarahnya sering terlupakan. Siapa sebenarnya Tan Malaka, dan kenapa kontribusinya begitu penting bagi Indonesia?

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat, dari keluarga adat Minangkabau. Nama aslinya adalah Ibrahim, dan ia mendapatkan gelar adat Datoek Tan Malaka pada usia yang sangat muda, yaitu 16 tahun. Gelar ini memberikannya kehormatan, tetapi juga tanggung jawab yang besar terhadap masyarakatnya.

Setelah menamatkan Sekolah Guru Pribumi di Bukittinggi, Tan Malaka melanjutkan pendidikan ke Belanda di Rijkskweekschool, Haarlem. Di Belanda inilah dia terpapar pada pemikiran sosialisme, komunisme dan ide-ide revolusi yang tengah berkobar di Eropa.

Tan Malaka membaca buku karya Karl Marx, Engels, dan Lenin, yang memperkuat keyakinannya bahwa ketidakadilan yang dialami rakyat Indonesia harus diubah secara revolusioner. Revolusi Rusia 1917 sangat memengaruhi cara pandangnya terhadap sistem kapitalis yang menurutnya hanya menguntungkan segelintir orang kaya.

Perjuangan Awal di Indonesia

Sekembalinya ke Indonesia, Tan Malaka menjadi guru bagi anak-anak pekerja perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Timur. Pengalaman ini membuka matanya terhadap realita hidup rakyat kecil yang tertindas oleh sistem kolonial Belanda.

Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis artikel-artikel yang mengkritik ketimpangan antara pemilik modal dan pekerja. Tulisannya semakin radikal, dan ia menjadi salah satu tokoh terdepan dalam gerakan anti-kolonialisme.

Pada tahun 1921, Tan Malaka pindah ke Jawa dan bergabung dengan organisasi politik Volksraad yang terdiri dari kelompok sayap kiri. Namun, tak lama setelahnya, dia mengundurkan diri karena menganggap Volksraad hanya mempermainkan kemerdekaan tanpa benar-benar mengusahakannya. Tan Malaka kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membuka sekolah rakyat di Semarang untuk meningkatkan kesadaran kaum buruh dan petani.

Eksil dan Aktivitas Internasional

Pada bulan Desember 1921, setelah Semaun, ketua PKI sebelumnya, meninggalkan Indonesia, Tan Malaka mengambil alih kepemimpinan PKI. Gaya kepemimpinannya yang radikal membuatnya menjadi sasaran utama kolonial Belanda, yang akhirnya menangkap dan mengasingkannya ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, lalu dipindahkan ke Belanda. Namun, pengasingan tidak menghentikan perjuangannya.

Dalam dua dekade berikutnya, Tan Malaka hidup sebagai buronan politik, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain dengan menggunakan banyak nama samaran. Ia menetap di Thailand, Tiongkok, Hong Kong, hingga Singapura, terus menulis dan mengembangkan pemikirannya tentang kemerdekaan dan sosialisme untuk dunia ketiga. Pada tahun 1925, ia menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), yang menjadi karya politik paling berpengaruhnya. Buku ini berisi gagasan Tan Malaka mengenai kemerdekaan Indonesia dalam bentuk republik.

HUT RI

Kembali ke Indonesia dan Mendirikan Persatuan Perjuangan

Pada tahun 1942, saat Jepang menduduki Indonesia, Tan Malaka kembali ke tanah air. Setelah proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka memprakarsai pendirian organisasi Persatuan Perjuangan pada Januari 1946. Persatuan ini beranggotakan berbagai kelompok revolusioner yang mendukung kemerdekaan penuh, tanpa kompromi dengan pihak Belanda.

Namun, pemikiran Tan Malaka yang radikal sering dianggap berlawanan dengan kebijakan pemerintah Indonesia saat itu. Persatuan Perjuangan kerap berselisih dengan pemerintah Soekarno-Hatta, terutama dalam hal mempertahankan kemerdekaan dari pengaruh Belanda. Akibat perbedaan pandangan ini, Tan Malaka sempat dipenjara pada tahun 1946. Setelah pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, ia dibebaskan dan kembali meneruskan perjuangannya.

Akhir Hidup dan Warisan

Sayangnya, kehidupan Tan Malaka berakhir tragis. Pada tahun 1949, ia ditangkap dan dieksekusi di Kediri, Jawa Timur. Lokasi makamnya tidak diketahui selama bertahun-tahun, hingga akhirnya seorang peneliti Belanda bernama Herry Poeze menemukannya di kaki Gunung Wilis, Kediri. Pada 16 Februari 2017, jasadnya dipindahkan ke kampung halamannya di Nagari Pandam Gadang, Sumatra Barat, sebagai penghormatan atas pengabdiannya kepada bangsa.

Warisan Pemikiran Tan Malaka

Pemikiran Tan Malaka berpengaruh besar pada ideologi pergerakan kemerdekaan. Ia tidak hanya berjuang demi kemerdekaan Indonesia, tetapi juga percaya bahwa kemerdekaan harus dibarengi dengan pemerataan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Buku-buku dan tulisannya masih terus dipelajari hingga sekarang, menjadi inspirasi bagi banyak aktivis dan tokoh politik yang ingin memperjuangkan keadilan sosial di Indonesia.

Dalam sejarah, Tan Malaka memang sering terpinggirkan dibanding tokoh nasional lainnya. Namun, gagasan revolusioner dan pengorbanannya untuk bangsa menjadikannya tokoh yang patut diingat. Tan Malaka bukan hanya seorang pahlawan nasional, tetapi juga simbol keberanian, keteguhan prinsip, dan dedikasi terhadap kemerdekaan sejati.

Penulis: Alweebee

Editor: Anwar