MEMANGGIL.CO - Dalam beberapa hari terakhir, nama Gus Miftah kembali menjadi sorotan publik, bukan karena kiprah positifnya sebagai tokoh agama, tetapi karena sebuah pernyataan yang dinilai merendahkan profesi tertentu.

Dalam sebuah ceramah, Gus Miftah diduga mengeluarkan komentar yang bernada menghina profesi penjual es teh.

Ironisnya, hal ini terjadi di tengah penunjukan dirinya sebagai utusan khusus Presiden untuk misi kerukunan beragama.

Polemik ini memunculkan pertanyaan: bagaimana seorang tokoh agama yang diharapkan menjadi teladan justru tersandung oleh kata-kata yang dianggap tidak mencerminkan misi yang diemban?

Sebagai figur publik dan ulama, Gus Miftah telah lama dikenal karena pendekatan dakwahnya yang merangkul berbagai kalangan. Ia kerap terlihat di tempat-tempat yang tidak biasa bagi seorang pendakwah, seperti klub malam, dengan tujuan memberikan pencerahan agama. Keberanian Gus Miftah ini awalnya diapresiasi karena mampu menjangkau mereka yang selama ini merasa jauh dari agama.

Namun, dengan posisi barunya sebagai utusan khusus Presiden dalam misi kerukunan beragama, tantangan yang dihadapinya menjadi jauh lebih besar.

Tugas ini memerlukan kemampuan untuk memahami dan menghormati berbagai latar belakang, termasuk profesi, budaya, dan keyakinan. Sebagai tokoh yang diamanahkan untuk mempererat persaudaraan lintas agama dan komunitas, setiap kata dan tindakannya menjadi sorotan, bahkan standar moral yang harus ia junjung tinggi.

Dalam salah satu ceramahnya, Gus Miftah mengeluarkan pernyataan yang dianggap merendahkan profesi penjual es teh. Ucapannya, yang secara eksplisit atau implisit terkesan membandingkan profesi tersebut dengan sesuatu yang dianggap lebih rendah, memantik reaksi keras dari masyarakat.

Banyak yang menilai bahwa ucapan itu tidak pantas diucapkan oleh seorang ulama, terlebih oleh seseorang yang diangkat sebagai simbol toleransi dan persatuan.

Profesi apa pun, termasuk penjual es teh, adalah bagian integral dari masyarakat. Setiap profesi memiliki peran dan kontribusi dalam membangun ekosistem sosial dan ekonomi. Merendahkan salah satu profesi sama saja dengan mengabaikan nilai-nilai Islam yang menekankan penghormatan terhadap kerja keras dan rezeki yang halal.

Dalam konteks ini, ucapan Gus Miftah bukan hanya mencoreng citranya sendiri, tetapi juga menggerus kepercayaan terhadap misi kerukunan yang diembannya.

Pernyataan Gus Miftah ini bukan sekadar masalah personal, melainkan juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap misi yang ia bawa. Tugas seorang utusan khusus Presiden bukan hanya soal diplomasi formal, tetapi juga soal membangun kepercayaan melalui keteladanan.

Ketika seorang tokoh agama menunjukkan sikap yang dianggap tidak menghargai profesi tertentu, hal itu dapat memunculkan kesenjangan sosial yang bertentangan dengan semangat kerukunan.

Sebagai utusan khusus, Gus Miftah diharapkan mampu menyampaikan pesan persatuan dan saling menghormati. Namun, insiden ini menciptakan ironi yang sulit diabaikan.

Jika kata-katanya saja dianggap merendahkan kelompok tertentu, bagaimana ia dapat dipercaya untuk menjembatani perbedaan dalam skala yang lebih besar?

Refleksi

Kritik yang diterima Gus Miftah mestinya menjadi momen refleksi, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi semua tokoh publik yang memegang tanggung jawab moral.

Dalam Islam, ucapan memiliki kekuatan yang besar. Nabi Muhammad SAW bahkan pernah bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam."

Prinsip ini seharusnya menjadi pedoman bagi siapa pun, terutama mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan atau representasi publik.

Gus Miftah perlu menyadari bahwa setiap pernyataannya membawa dampak luas, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi umat yang ia wakili. Sebagai seorang ulama, ia diharapkan menjadi contoh dalam bertutur kata, menjaga empati, dan menghormati keberagaman.

Selain itu, insiden ini juga seharusnya menjadi pengingat bagi masyarakat untuk tetap kritis tetapi adil dalam menilai seorang tokoh. Kita bisa mengkritik ucapan atau tindakannya tanpa harus menyerang secara personal. Kritik yang konstruktif dapat menjadi pendorong bagi perbaikan, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan.

Memang, diakui atau tidak, membangun kerukunan beragama bukanlah tugas yang sederhana. Dibutuhkan kepekaan, kesabaran, dan komitmen untuk memahami perbedaan dan mencari titik temu. Dalam konteks Indonesia yang plural, kerukunan adalah fondasi yang harus dijaga oleh semua pihak.

Gus Miftah memiliki peluang untuk memperbaiki citra dirinya sekaligus memperkuat misi yang ia emban. Langkah pertama yang perlu ia lakukan adalah meminta maaf secara terbuka kepada pihak yang merasa dirugikan oleh ucapannya, khususnya kepada para penjual es teh dan profesi lainnya yang mungkin tersinggung.

Permintaan maaf ini tidak hanya akan menunjukkan sikap rendah hati, tetapi juga memberikan pesan bahwa setiap manusia bisa melakukan kesalahan dan memiliki kesempatan untuk memperbaikinya.

Selanjutnya, Gus Miftah perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan. Sebagai figur publik, ia harus memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa manfaat dan menguatkan misi yang diembannya. Pendidikan publik tentang pentingnya menghormati profesi dan kontribusi setiap individu juga dapat menjadi bagian dari dakwahnya.

Insiden ini memberikan pelajaran penting bagi kita semua tentang betapa krusialnya menjaga ucapan dan sikap, terutama bagi mereka yang berada di posisi kepemimpinan. Gus Miftah, sebagai seorang ulama dan utusan khusus Presiden, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi teladan dalam membangun kerukunan dan menghormati keberagaman.

Namun, kesalahan yang telah terjadi tidak berarti akhir dari segalanya. Jika Gus Miftah mampu menunjukkan itikad baik untuk memperbaiki diri dan belajar dari insiden ini, ia masih memiliki peluang untuk menjalankan tugasnya dengan lebih baik. Kita pun, sebagai masyarakat, harus terus mendukung misi kerukunan beragama dengan tetap kritis dan memberikan masukan yang membangun. Karena pada akhirnya, kerukunan adalah tanggung jawab kita bersama.