Blora, MEMANGGIL.CO - Aroma ganjil mulai tercium dari proses pengadaan proyek jalan dan jembatan di Kabupaten Blora tahun anggaran 2025. Sejumlah paket pekerjaan bernilai miliaran rupiah ternyata dikuasai oleh perusahaan konstruksi dari luar daerah. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin penawaran mereka hanya turun tipis—sekitar 1 hingga 2 persen dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS)—namun tetap berhasil menang?

Data yang dihimpun Media Memanggil.co dari situs resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Blora menunjukkan, tiga perusahaan asal luar Blora—yakni CV. Meteorjaya dan CV. Mulyo Joyo Berkah dari Demak, serta PT. Surya Jaya Mulya dari Batang memenangkan tujuh paket proyek infrastruktur strategis pada 2025. Total nilai proyek yang mereka kuasai mencapai lebih dari Rp 35 miliar.

Satu Nama, Banyak Proyek

Temuan di lapangan memperkuat dugaan bahwa kemenangan ini bukanlah kebetulan. Seorang pekerja yang ditemui di lokasi proyek mengungkapkan bahwa seluruh proyek dari ketiga perusahaan tersebut dikoordinasikan oleh satu sosok asal Demak, Muhasmuri, yang disebut sebagai koordinator lapangan sekaligus pengendali proyek.

“Pak Muh yang meng-handle semua proyek-proyeknya,” ujar seorang pekerja yang enggan disebutkan namanya.

Beberapa proyek yang dikerjakan di antaranya tersebar di ruas Goa Crawang, Bicak Karanganyar, Tamanrejo, Sumengko Sumberagung, Trembul, hingga Jembatan Temuwoh.

Hal senada diungkap Aditya, staf yang mengaku bekerja di bawah koordinasi Muhasmuri. Ia membenarkan bahwa timnya mengerjakan tujuh proyek di Blora.

“Ada tujuh proyek, enam jalan dan satu jembatan,” terang Aditya kepada wartawan.

Namun saat ditanya soal strategi pemenangan tender dan alasan mengapa harga penawaran mereka hanya turun tipis dari HPS, Aditya memilih berhati-hati.

“Kalau itu saya kurang paham, saya kan cuma staf. Saya ikut tahapan lelang saja. Kalau detailnya bisa ditanyakan ke Pak Muh (Muhasmuri),” ujarnya singkat.

Tender Turun Tipis, Tanda Tanya Besar

Fenomena penawaran rendah bahkan di bawah 3 persen dari HPS sering kali menjadi indikasi kuat adanya pola tender terbatas atau dugaan pengondisian proyek. Dalam sistem lelang yang sehat dan kompetitif, penurunan harga penawaran lazimnya berkisar antara 5 hingga 10 persen dari HPS. Ketika margin penurunan sangat tipis, patut dicurigai ada pengaturan yang membuat kompetisi tidak berjalan semestinya.

Praktik semacam ini tentu merugikan daerah. Selain menghambat tumbuhnya kontraktor lokal, juga berpotensi menurunkan kualitas pekerjaan.

Beberapa proyek yang sebelumnya dikerjakan kontraktor luar daerah bahkan sempat menuai sorotan karena hasil pengerjaan yang cepat rusak dan tidak memenuhi standar teknis.

Diamnya DPUPR Blora

Tim Memanggil.co telah berupaya meminta konfirmasi kepada Muhasmuri, namun hingga berita ini diturunkan, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.

Begitu pula dengan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Blora, Nidzamudin Al Hudda, yang belum memberikan jawaban terkait maraknya dominasi perusahaan luar daerah dalam proyek-proyek tahun 2025.

Transparansi Diuji

Publik kini menunggu sikap tegas pemerintah daerah. Apakah situasi ini akan dibiarkan begitu saja, atau akan ada langkah korektif untuk memastikan transparansi dan keadilan bagi kontraktor lokal yang selama ini kesulitan bersaing dalam sistem lelang proyek infrastruktur.

Sebab pada akhirnya, pembangunan yang sehat bukan soal siapa yang menang tender, melainkan bagaimana uang rakyat dikelola dengan benar dan hasilnya benar-benar dirasakan masyarakat Blora.