MEMANGGIL.CO – Pagi belum sempurna lahir. Ayam di kandang pun belum sempat berkokok, namun seorang lelaki renta telah lebih dulu meninggalkan ranjang tipisnya.

Dari rumah kayu yang mulai rapuh dimakan usia, ia melangkah keluar menantang udara dingin yang menggigit. Tujuannya sederhana namun mulia; memastikan asap dapur rumahnya tetap mengepul hari ini.

Dengan langkah pelan tapi teguh, ia susuri jalan setapak yang gelap dan lembab. Setiap injakan kakinya menanggung beban yang tak terlihat, namun begitu nyata ada perut yang harus kenyang, ada masa depan anak-anak yang menunggu, ada cinta seorang istri yang selalu setia menyiapkan bekal.

Di pematang sawah, cangkul di pundaknya segera bersentuhan dengan tanah. Irama dentang besi menghantam bumi terdengar bersahutan dengan kokok ayam yang baru saja terbangun.

Setiap ayunan bukan sekadar pekerjaan, melainkan doa yang ia titipkan; semoga tanah yang diolah menumbuhkan padi, semoga rezeki yang kecil tumbuh menjadi cukup.

Peluh (keringat) yang jatuh dari dahinya adalah saksi bisu. Lelaki itu mengolah tanah dengan keyakinan, bahwa suatu hari butir padi yang tumbuh akan menjelma menjadi kehidupan bagi keluarganya.

Matahari mulai merangkak, sinarnya menyapa wajah tua yang legam. Tangannya kokoh menggenggam gagang cangkul, seakan menjadi tiang penyangga rumah tangganya.

Sesekali ia berhenti, sekadar meneguk air dari botol lusuh yang dibawanya. Terik siang yang membakar punggung bukanlah penghalang, hanya bagian dari ujian hidup yang harus diterima dengan sabar.

Menjelang tengah hari, ia merebahkan tubuh di bawah rindang pohon di pinggir sawah. Ia membuka bungkusan nasi dari istrinya. Mungkin hanya nasi putih dangan lauk ikan asin. Namun di lidahnya, itu adalah jamuan istana.

Setelah makan, ia berwudhu seadanya lalu menghadap kiblat. Dalam sujudnya, ia pasrah menyerahkan segala lelah pada Sang Pemilik Hidup.

HUT RI

Selesai berdoa, ia kembali bangkit. Cangkul yang sama kembali menari di tangannya, hingga matahari condong ke barat. Senja datang, dan sawah pun selesai ia rapikan. Tenaganya terkuras, peluhnya bercucuran, namun hatinya tetap lapang.

Sore itu ia pulang membawa upah buruh cangkul. Tidak banyak, mungkin tak cukup untuk disebut berlimpah. Tetapi bagi keluarganya, uang itu adalah cahaya yang menyalakan harapan.

Sesampainya di rumah, empat anaknya menyambut dengan tawa riang. Senyum istrinya menghapus semua letih.

Uang yang ia bawa langsung berpindah tangan, tanpa ada keluhan, tanpa ada penyesalan. Ia tahu, bahagia bukanlah tentang berapa banyak yang bisa dimiliki, melainkan seberapa ikhlas hati menerima.

Pak tua itu, dengan tubuh renta dan cangkul setianya, telah menjadi guru kesabaran. Ia mengajarkan bahwa perjuangan bukan milik mereka yang paling kuat, tetapi milik mereka yang paling sabar.

Ia menunjukkan bahwa syukur adalah harta yang tak lekang, dan senyum orang tercinta adalah obat dari segala lelah.

Dari sosoknya kita belajar, hidup memang berat, tetapi ada yang lebih gigih menanggungnya tanpa sekalipun mengeluh. Dan di balik setiap butir nasi yang kita santap, tersimpan cucuran keringat dan doa yang tak pernah berhenti mengalir.

Di tangan renta itu, cangkul berubah menjadi pena. Dan setiap ayunannya adalah kalimat sabar yang ditulis di halaman kehidupan. Kisahnya bukan hanya tentang bertahan hidup, melainkan tentang seni bersyukur. Sebuah pelajaran abadi yang tak lekang oleh waktu. (Bersambung - 1)