Jakarta, MEMANGGIL.CO – Demam lari kini melanda berbagai kota di Indonesia. Dari Jakarta, Surabaya, hingga Bandung, ribuan pelari terlihat memenuhi jalanan setiap akhir pekan. Namun, di tengah semangat hidup sehat ini, muncul fenomena baru: fotografer jalanan yang memotret para pelari secara spontan.

Para fotografer tersebut biasanya mengambil gambar di titik-titik strategis dan mengunggah hasil jepretan ke platform seperti FotoYu untuk dijual atau dibagikan di media sosial. Praktik ini semula dianggap sebagai bentuk kreativitas dan apresiasi terhadap gaya hidup aktif, namun kini menuai kritik karena berpotensi melanggar hak privasi individu.

Ahli Hukum: Foto Tanpa Izin Bisa Digugat

Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan bahwa fotografer bisa digugat secara perdata jika mengambil atau mempublikasikan foto seseorang tanpa izin.

“Pelari bisa menggugat fotografer apabila foto diambil tanpa izin dan menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (31/10/2025).

Menurut Fickar, dasar hukum gugatan ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melanggar hukum (PMH). Selain itu, fotografer juga bisa dijerat Pasal 310 KUHP jika dianggap mencemarkan nama baik, atau Pasal 335 KUHP karena perbuatan tidak menyenangkan.

Namun, ia menegaskan bahwa foto yang menampilkan suasana umum atau event publik seperti lomba resmi tidak termasuk pelanggaran. “Kalau dalam event publik, hak memotret bersifat terbuka. Tapi jika fokusnya ke wajah seseorang tanpa izin, itu bisa jadi masalah hukum,” ujarnya.

UU PDP Lindungi Foto sebagai Data Biometrik

Regulasi baru juga memperkuat perlindungan terhadap foto pribadi di era digital. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), foto wajah dikategorikan sebagai data biometrik yang tidak boleh diambil atau disebarkan tanpa izin pemiliknya.

Pasal 4 UU PDP menegaskan bahwa data biometrik mencakup informasi fisik dan perilaku individu seperti wajah, sidik jari, retina mata, hingga DNA. Dengan demikian, pelari yang difoto tanpa izin memiliki hak untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran terhadap data pribadinya.

“Gambar wajah termasuk data pribadi yang harus dijaga dan tidak boleh dikomersialkan tanpa persetujuan eksplisit dari pemiliknya,” tulis penjelasan UU PDP.

Kemenkomdigi Tegaskan Etika Digital untuk Fotografer

Menanggapi fenomena ini, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), Alexander Sabar, menegaskan pentingnya kesadaran hukum dan etika di kalangan fotografer digital.

“Foto seseorang yang menampilkan wajah atau ciri khas individu termasuk kategori data pribadi. Tidak boleh diambil, disimpan, atau disebarluaskan tanpa izin,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (31/10/2025).

Alexander menambahkan, fotografer yang menjual hasil foto tanpa izin dapat dianggap melakukan pengolahan data pribadi secara ilegal. Oleh karena itu, Kemenkomdigi akan menggandeng Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI) untuk memperkuat pedoman etik dan tanggung jawab digital.

“Kami ingin memastikan pelaku fotografi memahami batasan hukum dalam berkarya agar ruang digital tetap aman, kreatif, dan beretika,” tegasnya.

Antara Eksistensi dan Etika di Era Digital

Fenomena fotografer jalanan di tengah tren lari menunjukkan bagaimana eksistensi digital dan keinginan tampil di media sosial telah mengubah cara orang mendefinisikan privasi. Bagi sebagian pelari, foto mereka menjadi bentuk apresiasi dan dokumentasi pribadi. Namun, bagi yang lain, itu bisa terasa seperti invasi ruang pribadi.

Di tengah maraknya platform berbagi foto dan penjualan digital, masyarakat diingatkan untuk lebih sadar hukum dan etika. Kreativitas memang tak terbatas, tetapi privasi tetap harus dihormati.

Tren lari yang positif bagi gaya hidup sehat kini menimbulkan tantangan baru di era digital: bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan privasi.
Baik fotografer maupun pelari diimbau memahami hak dan kewajibannya agar kreativitas tak berujung pada pelanggaran hukum.