MEMANGGIL.CO - Gelombang protes yang mengguncang berbagai kota dalam beberapa hari terakhir telah berubah menjadi tragedi. Nyawa melayang, gedung terbakar, fasilitas publik hancur. Semua ini seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah sejak awal membuka ruang dialog yang jujur dan transparan. Aspirasi rakyat bukan ancaman, tetapi suara yang harus didengar. Ketika telinga penguasa tertutup, jalanan menjadi pelampiasan—dan sejarah membuktikan, jalanan selalu menagih korban.
Akar Masalah
Kemarahan rakyat tidak lahir tiba-tiba. Ia mengendap dari kebijakan yang dinilai tidak berpihak, dari komunikasi publik yang terkesan arogan, hingga akumulasi rasa ketidakadilan. Di tengah tekanan ekonomi dan ketimpangan sosial, percikan kecil bisa berubah menjadi ledakan besar. Rakyat yang merasa tak punya saluran resmi akhirnya memilih jalan yang paling keras: turun ke jalan, meski dengan risiko nyawa.
Seharusnya pemerintah membuka pintu dialog yang seluas-luasnya, transparan, dan setara. Aspirasi publik bukanlah musuh, melainkan bahan bakar demokrasi. Ketika saluran formal tertutup, aspirasi akan mencari jalan lain sendiri—dan jalanan menjadi pilihannya. Sayangnya, respon yang muncul justru berupa pendekatan represif yang kerap kali justru memperkeruh keadaan.
Dampak Tragis yang Tak Bisa Dianggap Enteng
Gelombang protes kali ini meninggalkan jejak luka mendalam. Sedikitnya 10 orang meninggal dunia sejak 25 Agustus. Nama-nama seperti Affan Kurniawan (21 tahun), pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob di Jakarta, menjadi simbol tragedi ini. Di Makassar, dua pegawai pemerintah, Muhammad Akbar Basri (26 tahun) dan Sarinawati (26 tahun), meregang nyawa dalam kebakaran gedung DPRD yang diserang massa. Komnas HAM dan Amnesty International mencatat setidaknya 8–10 korban jiwa dalam rentang waktu singkat ini.
Kerugian material juga tak kalah mengerikan. Negara harus menanggung kerugian hingga Rp900 miliar akibat perusakan fasilitas publik dan gedung pemerintah. Jakarta dan Surabaya menjadi titik kerusakan terbesar: Rp55 miliar di ibu kota, meliputi halte TransJakarta, stasiun MRT, dan lampu lalu lintas. Sementara di Surabaya, kerugian menembus Rp174 miliar, dengan Gedung Grahadi, Hotel Sahid, dan Polsek Tegalsari—bangunan bersejarah—hangus dilalap api. Belum termasuk gedung DPRD di sejumlah daerah yang porak-poranda, serta sarana transportasi umum yang lumpuh total.
Buka Pintu Dialog Sebelum Terlambat

Aksi anarkisme, perusakan, dan penjarahan tentu tidak dapat dibenarkan. Kekerasan hanya menambah luka, bukan menyelesaikan masalah. Namun, kita juga harus jujur: akar masalah tidak akan hilang hanya dengan meredam gejala. Jika ruang dialog dibuka sejak awal, mestinya tragedi ini tidak perlu terjadi.
Gelombang protes ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran ketertiban, tetapi juga alarm politik. Ini tanda bahwa komunikasi antara pemerintah dan rakyat retak. Jika pola lama ini terus berulang—respon represif tanpa evaluasi kebijakan—maka potensi eskalasi akan selalu ada.
Langkah solutifnya jelas: buka ruang dialog yang nyata, bukan sekadar formalitas. Libatkan publik dalam perumusan setiap kebijakan, hadirkan empati, dan pastikan setiap keputusan disertai transparansi. Karena jika negara terus menutup telinga, maka jalanan akan selalu menjadi pilihan rakyat—dan sejarah mencatat bahwa parlemen jalanan selalu menagih korban.
Penulis adalah Ketua Umum PC IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora