MEMANGGIL.CO - Setiap kali negara merasa berhasil menekan angka impor beras, istilah swasembada cepat sekali diangkat ke permukaan. Pada 2025 ini, pemerintah dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa tidak satu bulir pun beras impor masuk ke tanah air. Bulog bahkan mencatatkan rekor penyerapan gabah petani tertinggi dalam sejarah, seolah ini pertanda bahwa negeri ini akhirnya bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan pangan.

Namun seperti banyak perayaan kebijakan di negeri ini, yang kasat mata seringkali menipu. Di Blora, misalnyadaerah dengan hamparan sawah luas dan tradisi tani yang kuattidak ada tanda bahwa para petani merayakan hal serupa. Harga gabah memang sedikit naik, tapi tidak sampai menyentuh harapan mereka. Apalagi bicara kesejahteraan.

Produksi Tidak Naik, Tapi Serapan Melejit

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras nasional tahun ini berkisar 32 hingga 33 juta tonangka yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari lima tahun terakhir. Bahkan, dalam beberapa laporan, disebutkan ada keterlambatan tanam akibat dampak El Nino akhir 2024 lalu.

Yang berubah bukan produksi, melainkan bagaimana negara hadir dalam pasar. Bulog tahun ini diberi mandat lebih besar, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dinaikkan jadi Rp6.500 per kilogram, bahkan TNI dilibatkan untuk memastikan kelancaran penyerapan gabah dari petani.

Inilah yang membuat angka serapan Bulog melonjak. Tapi lonjakan itu lebih mencerminkan desain kebijakan jangka pendek ketimbang prestasi struktural jangka panjang. Ia lebih bersifat intervensi, bukan capaian produktivitas.

Ketika Angka Menjadi Topeng

Dalam dunia kebijakan publik, angka adalah bahasa yang ampuh. Tapi angka juga bisa menjadi topeng. Rekor serapan Bulog tahun ini, jika tidak dibaca secara kritis, bisa menyesatkan: seolah kita telah menaklukkan krisis pangan, seolah petani telah mendapatkan harga terbaik, dan seolah produksi sudah jauh lebih unggul dibanding negara lain.

Padahal kenyataannya, petani masih terjebak dalam siklus lama: harga yang fluktuatif, pupuk yang langka atau mahal, dan hasil panen yang belum sebanding dengan kerja keras mereka. Di Blora misalnya, petani masih bertanya-tanya: benarkah negara sedang berpihak, atau hanya sedang menambal krisis kepercayaan?

Swasembada Sejati Bukan Sekadar Tidak Impor

Kita harus berhenti memaknai swasembada sebagai sekadar tidak mengimpor. Swasembada adalah soal kedaulatan petani atas tanahnya, soal kepastian harga dan pasar, soal jaminan produksi yang berkelanjutan, bukan insidental.

Rekor serapan Bulog bisa jadi langkah awal, tapi jika tidak dibarengi dengan perbaikan tata kelola pertanian dari hulu ke hilir, maka capaian ini hanya akan menjadi prestasi semudirayakan elite, tapi terasa biasa saja bagi petani.

Kebijakan pangan harus dibaca secara utuh: tidak hanya dari sisi angka serapan, tapi juga dari suara petani yang tidak terdengar. Dalam banyak hal, mereka tidak meminta negara hadir dalam bentuk seremoni, tapi dalam bentuk perlindungan yang konkret.

Jika tahun ini kita tak impor, itu tentu kabar baik. Tapi mari jangan cepat merasa berhasil. Karena mungkin yang paling berhasil dari semua ini adalah narasi, bukan realitas.

Penulis : Dwi Giatno, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora