MEMANGGIL.CO - Beberapa bulan terakhir, publik berkali-kali dikejutkan oleh kabar keracunan massal siswa setelah menyantap makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ironis, program yang sejatinya ditujukan untuk menyehatkan generasi penerus bangsa justru menimbulkan ancaman bagi nyawa mereka. Dari Jawa Barat hingga Sulawesi, kasus serupa berulang: puluhan anak mual, muntah, hingga harus dirawat di rumah sakit.

Yang lebih aneh, tidak ada data resmi yang dirilis pemerintah pusat. Kemenkes, Kemendikbudristek, maupun Badan Pangan Nasional tidak pernah menyampaikan catatan terbuka terkait jumlah kasus keracunan. Pertanyaannya, apakah memang sistem pelaporannya lemah, atau ada upaya menutupi fakta demi menjaga citra program?

Anggaran Raksasa, Pengawasan Rapuh

MBG bukan program kecil. Anggaran yang digelontorkan triliunan rupiah—menjadikannya salah satu program dengan biaya jumbo di era pemerintahan saat ini. Dengan dana sebesar itu, publik wajar berharap standar keamanan pangan yang ketat. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Bahan baku yang kurang segar, dapur katering yang tak higienis, distribusi yang asal-asalan—semua menjadi celah keracunan. Lalu siapa yang seharusnya mengawasi? Apakah ada mekanisme audit rutin, pemeriksaan makanan sebelum didistribusikan, atau standar nasional yang wajib dipatuhi penyedia? Fakta di lapangan justru menunjukkan pengawasan masih lemah, bahkan nyaris tak terdengar gaungnya.

Adakah Sanksi?

Ketika terjadi keracunan, publik wajar menuntut pertanggungjawaban. Penyedia yang lalai semestinya dikenai sanksi tegas: kontrak diputus, denda dijatuhkan, bahkan kasus masuk ranah hukum. Namun sejauh ini, kabar soal sanksi hampir tidak pernah muncul.

Jika konsekuensi paling berat hanya teguran atau pemutusan kontrak sebagian kecil, maka tak heran kasus terus berulang. Penyedia merasa aman karena tahu “risiko bisnisnya” rendah. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemerintah lebih peduli pada kelancaran proyek atau keselamatan siswa?

MBG: B-nya Apa?

Secara resmi, MBG adalah Makan Bergizi Gratis. Tetapi dengan rangkaian kasus keracunan, publik mulai bertanya: B-nya masih “Bergizi”, atau sudah berubah arti?

Kalau melihat fakta, “B” bisa berarti Berbahaya. Jika dibiarkan tanpa perbaikan sistem, “B” bisa menjelma Bencana. Dengan anggaran jumbo tapi hasil yang kontradiktif, “B” bisa pula diartikan Boros.

Satire ini bukan sekadar permainan kata, melainkan cerminan keresahan masyarakat. Program yang mestinya jadi solusi gizi justru menghadirkan persoalan baru.

Jangan Main-main dengan Nyawa Anak

Kritik ini tentu bukan ajakan untuk menolak MBG. Program makan bergizi gratis adalah kebijakan mulia yang seharusnya tetap berjalan. Namun, pelaksanaannya harus diperbaiki secara serius. Ada beberapa langkah mendesak:

1. Standarisasi Nasional Keamanan Pangan MBG: dari bahan baku, proses masak, hingga distribusi.

2. Pengawasan independen: libatkan BPOM, Kemenkes, bahkan masyarakat sipil dalam verifikasi lapangan.

3. Transparansi data: setiap insiden keracunan wajib diumumkan secara terbuka, bukan ditutup-tutupi.

4. Sanksi keras: pemutusan kontrak, denda besar, hingga proses hukum bagi penyedia yang lalai.

MBG adalah program dengan niat baik, tapi pelaksanaan buruk bisa mengubah niat mulia menjadi ironi. Pertanyaan “MBG: B-nya Apa?” seharusnya menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi, melainkan nyawa dan kesehatan anak-anak penerus bangsa.

“B” mestinya tetap berarti Bergizi, bukan yang lain. Dan memastikan hal itu adalah tanggung jawab negara yang tidak bisa ditawar-tawar.

 

----

Penulis adalah Ketua Umum PC. IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora