MEMANGGIL.CO - Kita telah sepakat bahwa perlindungan bagi anak-anak dari penyelenggara sistem elektronik adalah hal yang penting dan relevan, yang kini sudah diatur secara hukum melalui Peraturan Pemerintah dan merupakan pengejawantahan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun, dalam diskusi kebijakan publik, penting untuk tidak hanya berhenti pada regulasi. Pertanyaan besar selanjutnya adalah: Bagaimana kita sebagai orang dewasa dapat melindungi diri dan menjaga fokus dari pengaruh 'ekonomi perhatian' (attention economy) yang terus berusaha mencuri waktu dan energi kita?

Mengingat aturan yang ada lebih berfokus pada anak-anak, kita sebagai orang dewasa sering dianggap harus bertanggung jawab atas diri sendiri. Kita tidak bisa terus-menerus terjebak dalam doom scrolling atau menggulir Instagram Reels dan TikTok yang memang sengaja dirancang untuk adiktif.

Kelas pakar kali ini akan berfokus pada buku-buku yang dapat menjadi inspirasi, bahan bacaan, dan panduan untuk 'detoksifikasi digital' serta memperkuat benteng mental kita.

 

Bagian 1: Memahami Bahaya dan Realitas di Balik Layar

Langkah pertama adalah memahami bahaya dan menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan.

 

1. Realitas yang Direkayasa: Siapa Penguasa Sebenarnya?

Rekomendasi Buku:

Invisible Rulers: The People Who Turn Lies into Reality oleh Renée DiResta
Filter World: How Algorithms Flatten Culture oleh Kyle Chayka
Di era informasi saat ini, "If you make it trend, you make it true." Kebenaran seringkali ditentukan oleh keyakinan kolektif, dan fenomena ini diperkuat oleh sistem media sosial. Buku Invisible Rulers menunjukkan bagaimana narasi tertentu dapat direkayasa secara sistematis. DiResta sendiri pernah menjadi korban kampanye sistematis yang melibatkan death threats dan pesan kebencian.

Kita perlu menyadari bahwa sistem yang kita anggap "bebas nilai" adalah ilusi. Filter World menjelaskan bahwa algoritma dibuat oleh manusia, yang berarti mereka membawa bias dan nilai. Perdebatan mengenai bias pada AI, seperti yang terjadi pada Gemini buatan Google, adalah bukti nyata bahwa tidak ada sistem yang benar-benar netral. Siapa yang merancang dan mengatur di belakangnya, dialah yang menentukan bagaimana konten itu akan memengaruhi kita—termasuk konten yang muncul di For You Page (FYP) Anda.

 

2. Bahaya Hasrat dan Identitas Semu: Mimetic Desire

Rekomendasi Buku:

Wanting: The Power of Mimetic Desire in Everyday Life oleh Luke Burgis
Buku ini membahas filosofi mimetic desire dari René Girard. Suatu hal menjadi viral atau diinginkan, bukan melulu karena nilai inherensiknya, melainkan karena hasrat meniru. Desire ini bisa muncul dari kebutuhan identitas: kita ingin menunjukkan identitas kita.

Ini menjelaskan fenomena cancel culture dan tren ikutan (heart mentality) seperti tren main padel. Seseorang bisa ikut-ikutan membenci atau menyukai sesuatu hanya karena teman-temannya melakukannya (follow the herd), atau bahkan menjadi antitesisnya (anti-mainstream) demi menonjolkan identitas.

Mimetic desire ini berbahaya karena membuat kita tidak merefleksikan tindakan kita. Kita hanya ikut-ikutan, dan jika dorongan kolektif itu negatif, hasilnya bisa fatal, seperti perundungan daring (online bullying) yang seringkali mengorbankan orang-orang yang posisinya lemah atau tidak memiliki relasi kuasa. Kita tidak boleh terjebak dalam hasrat meniru ini atau menjadi alat dalam kampanye terstruktur, baik untuk kepentingan politik maupun bisnis, yang mencuri perhatian kita.

 

Bagian 2: Strategi dan Kenikmatan Hidup Intelektual

Setelah memahami bahayanya, kita perlu membangun pertahanan yang berkelanjutan, bukan sekadar solusi sementara.

 

3. Menguasai Distraksi dan Menemukan Kenikmatan Batin

Rekomendasi Buku:

The Wandering Mind: What Medieval Monks Tell Us About Distraction (Berfokus pada teknik menghindari distraksi dari masa lalu)
Lost in Thought: The Hidden Pleasures of Intellectual Life oleh Zena Hitz
Breaking Bread with the Dead: A Reader's Guide to a More Tranquil Mind oleh Alan Jacobs
Buku-buku ini mengingatkan kita akan kenikmatan dari kehidupan intelektual. Belajar dan mencintai ilmu bukanlah sekadar hak istimewa, melainkan sumber kepuasan batin. Learning for the sake of studying itself menawarkan kesenangan mendalam yang tidak bisa didapatkan jika kita hanya berhenti di permukaan (mimetic desire).

Ketika kita 'tersesat dalam pikiran' (lost in thought) dan fokus pada penelitian mendalam, kita menemukan pengetahuan menarik yang luput jika hanya membaca sekilas. Rahasia untuk menjadi pembaca yang banyak adalah: Anda hanya perlu terbiasa (accustomed) dan memulainya.

 

4. Membangun Solitude dan Menguasai Perhatian

Rekomendasi Buku Tambahan:

At the Center of All Beauty: Solitude and the Creative Life oleh Fenton Johnson
How to Do Nothing: Resisting the Attention Economy oleh Jenny Odell
The Extinction of Experience: Being Human in a Disembodied World oleh Christine Rosen
At the Center of All Beauty membedakan antara alone (sensasi negatif, terpisah) dan solitude (sensasi positif, terpisah untuk tujuan yang lebih besar). Solitude terasa membebaskan.

How to Do Nothing adalah buku penting yang mengingatkan bahwa kita dikelilingi oleh aplikasi dan sumber daya yang dirancang untuk mencuri perhatian. Berhenti secara tiba-tiba (detoks sementara) tidak akan berhasil. Kita harus belajar teknik yang berkelanjutan dan menumbuhkan kemampuan untuk menikmati hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi perhatian.


 

Penutup: Keindahan Ilmu sebagai Pelindung Diri
 

Sebagai orang dewasa, kita tidak memiliki perlindungan hukum; kita "berjuang sendiri." Kita harus membaca, memahami, dan belajar bagaimana menepis jebakan yang mengambil perhatian kita. Ada begitu banyak pengetahuan menarik yang luas, dan itu semua hanya bisa dicapai dengan meluangkan waktu untuk melakukannya. Buku-buku ini hanyalah pemicu; mereka membantu kita mengecap keindahan dari ilmu.

Mari kita tutup dengan perkataan Ali bin Abi Thalib dari Nahjul Balaghah tentang pengetahuan:

”Ilmu adalah sebaik-baik perbendaharaan dan yang paling indahnya. Ia ringan dibawa namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak ia indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur."
Ilmu memberikan kita solitude yang berharga dan selalu menemani, baik di tengah keramaian maupun dalam kesendirian.

Oleh: Pramudia Oktafin, Reading Chamber (Kelas Pakar)