MEMANGGIL.CO - Menara masjid warna merah terlihat dari jalan utama Bojonegoro - Cepu. Untuk menuju masjid yang nampak menaranya itu hanya berjarak sekitar 100 meter.
Saat memasuki masjid tersebut, akan terlihat warna cat hijau muda dan lantai coklat dan satu menara yang cukup tinggi. Itulah Masjid KH Hasyim Jalakan yang namanya terpampang jelas pada bagian depan masjid. Lantas, siapa sosok yang namanya menjadi nama masjid?
Usut punya usut, beliau merupakan ulama di Dusun Jalakan, Desa Padangan, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Mungkin tak banyak yang kenal dengan tokoh satu ini. KH Hasyim Jalakan adalah salah satu tokoh besar, yang hidup pada tahun sekitaran tahun 1.852 hingga 1.942 an.
Rujukan Ulama di Tanah Jawa
Dulu ulama asli Padangan ini menjadi rujukan ulama di tanah Jawa. Bahkan ulama besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah dulu santri KH Hasyim. Hanya saja, saat wartawan memasuki wilayah Jalakan ini, tak terlihat jejak kebesaran salah satu ulama besar tersebut. Hanya tersisa masjid dengan nama beliau itu.Bahkan saat ingin menguak sejarah KH Hasyim, wartawan juga kesulitan. Sebab, keturunan beliau dari cucu-cucunya tak lagi tinggal di Jalakan karena banyak yang tinggal di luar daerah tersebut.
Setelah wartawan sempat mengalami kesulitan untuk menguak sejarahnya, baru kemudian oleh warga sekitar diarahkan kepada salah satu tokoh desa setempat. Yang juga mendirikan pesantren yang hanya berjarak 50 meter dari masjid KH Hasyim. Tepatnya Pesantren Al Mushthofa di desa setempat, dan kemudian bertemulah dengan Mochammad Zainal Arifin pengasuh pesantren tersebut.
''Gimana, ada apa?,'' tanya pria dengan baju batik dan berkaca mata itu, saat ditemui di salah satu tempat dekat kediamannya.
Dengan gestur yang santai dan tanpa gaya formal layaknya pengasuh pesantren, saat mengetahui tujuan wartawan ingin menelusuri sejarah KH Hasyim Jalakanya, dia lantas menjelaskan, bahwa KH Hasyim Jalakan itu sebenarnya bukan asli Jalakan. Aslinya adalah Desa Ngasinan Padangan.
"Kelahirannya sekitar tahun 1.800 an,'' ujarnya tanpa bisa memastikan tahunnya.
Kemudian, KH Hasyim meninggal sekitar tahun 1942 atau saat tentara Jepang masuk Indonesia. Sedangkan bagaimana kisah KH Hasyim semasa hidupnya, dirinya mengaku tidak mengetahui secara rinci.
Hanya cerita sedikit yang dia dapatkan dari cerita turun menurun dari sang ayah dan kakeknya. Bahwa KH Hasyim ini dulunya adalah kiai besar pada jamannya. Bahkan, adalah ulama satu angkatan dengan KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlotul Ulama (NU).
"Beliau ini (KH Hasyim Jalakan, Red) teman satu angkatan dengan KH Hasyim Asyari saat di pesantren Kyai Kholil Bangkalan,'' ujarnya.
Karena satu angkatan di pesantren itu, kemudian soal keilmuan dan kebesaran pengaruhnya kedua tokoh ulama ini tak jauh beda. Sehingga, semasa hidupnya setelah keluar dari pondok Kiai Kholil, lantas mendirikan pesantren di Jalakan.
Ulama Pengarang Kitab
Bahkan KH Hasyim mengarang kitab Shorof yang fenomenal yang di kenal dengan Tasrifan Padangan. Tasrifan ini menurutnya, beda dengan tasrifan yang selama ini banyak dikenal oleh masyarakat yakni Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah yang dikarang oleh KH M Mashum, kemudian dikenal dengan Tasrifan Jombang.Dengan kitab karangannya itu, dulu banyak menjadi acuan tentang keilmuan shorof di pesantren.
''Makanya dulu orang tua bilang, di tanah jawabisa melek bahasa arab karena Mbah Hasyim, Maksudnya itu ya Mbah Hasyim Jalakan dan Mbah Hasyim Asyari,'' jelasnya.
Selain mengarang kitab tasrifan, KH Hasyim dulunya juga menerjemahkan kitab ilmu Nahwu. Seperti kitab Al Maqsud, Imriti dan Alfiah kedalam bahasa jawa.
Sehingga, tak heran menurut Arifin, dulunya KH Hasyim ini terkenal sampai manca negara. Sebab konon cerita yang diketahui santri KH Hasyim ini sampai di Singapura dan Malaysia. Sedangkan di Jawa sendiri santri-santrinya menjadi kiai besar.
''Salah salah satunya KH Bisri Mustofa atau ayah Gus Mus Rembang itu dulu juga santri sini,'' ujarnya.
Bahkan tidak heran saat kematian KH Hasyim dulu, dari kisah yang dia dapatkan dari orang tuanya begitu banyak yang berdatangan. Bahkan saat perosesi pemakaman keranda jenazah KH Hasyim berjalan sendiri.
''Saat KH Hasyim meninggal bapak saya masih kecil, katanya jenazah beliau berjalan sendiri karena sangking banyaknya yang takziah membuat banyak yang ingin membawanya,'' jelasnya.
Hanya saja menurutnya, meski kisah hidup beliau dan karangan-karangannya besar sebagai kontribusi keilmuan bahasa arab, nama KH Hasyim ini tak memiliki penerusnya.
Saat ini bekas pesantrennya dulu sudah tidak ada dan hanya menyisakan bekasnya, serta masjid yang diberi nama Masjid KH Hasyim Jalakan. Juga rumah peninggalannya sudah dipugar dan ditempati oleh cucunya.
Bahkan semasa dirinya kecil, bentuk pondok pesantren KH Hasyim juga sudah tidak ada. Menurutnya, kitab-kitab itu saat ini tidak jelas keberadaannya dan karangan KH Hasyim sulit untuk dicari.
Seperti saat wartawan mencoba meminta apakah Zainal Arifin memiliki kitab Tasrifan Padangan ini, dirinya mengaku tak punya. Hanya saja dirinya saat kecil pernah punya dan memilikinya, kemudian hilang.
Selain itu juga, selama ini informasi kisah KH Hasyim sangat minim. Tak pernah tertulis dalam buku sejarah. Seperti bagaimana kisah saat perjuangan masa penjajahan, dirinya dan warga lain tidak ada yang tau. Kisah itu hanya diketahui dari kisah mulut ke mulut.
Apalagi cucunya banyak yang tidak bergelut di dunia pesantren. Banyak yang ke luar kota. Sehingga kisah kebesaran KH Hasyim semakin tenggelam. Hanya saja yang pasti, lanjutnya, dulu KH Hasyim sangat disegani di Jalakan.
Bahkan saking senangnya masyarakat Jalakan kepada KH Hasyim. Warga mewakafkan tanahnya untuk dijadikan menjadi akses jalan menuju pesantrennya. Yang mana, jalan itu sekarang menjadi jalan utama dari jalan Bojonegoro - Cepu untuk masuk ke Masjid KH Hasyim Jalakan.
"Lalu jalan yang lama ditutup warga, saking senangnya masyarakat sini,'' jelasnya
Lalu peninggalan yang lain menurutnya di Dusun Jalakan ini tidak ada lagi. Seperti kebudayaan dan kebiasaan juga tidak ada.
''Disini layaknya masyarakat NU pada umumnya, tidak ada yang khusus,'' imbuhnya.
Cucu KH Hasyim Jalakan
Kemudian untuk mempertajam terkait sejarah KH Hasyim ini, Zainal Arifin mengarahkan kepada salah satu cucu KH Hasyim yang masih mendalami ilmu agama. Yaitu ke Pondok Pesantren Assalam Cepu, Blora.Lantas, wartawan kala itu juga mendatangi kediaman KH Machsun Usman pengasuh pesantren Assalam Cepu. KH Machsun adalah putra dari Siti Channah putri dari KH Hasyim.
Saat ditemui di kediamannya, dia tinggal di rumah yang sangat tua. Rumah dengan cat hijau dan dinding kayu. Meski di sekitarnya bangunan sudah cukup megah, rumah tersebut masih mempertahankan keasliannya.
Di rumahnya itu terpampang foto-foto keluarganya. Termasuk foto KH Hasyim Jalakan. Fotonya ditempatkan di posisi paling atas. Lalu urutan di bawahnya adalah foto ayahnya.
Mengetahui kehadiran wartawan, KH Machsun kemudian mempersilahkan untuk memasuki kediamannya. saat itu, diakui tidak mengetahui bagaimana kisah KH Hasyim secara rinci.
Hanya saja dari cerita yang didapatkan, KH Hasyim ini dulunya adalah besan dari KH Abu Sukur Tawang Ngraho, Bojonegoro. Yang tidak lain putra KH Abu Sukur ini adalah KH Usman ayahnya. Untuk kisah masa hidup atau proses elajar KH Hasyim Jalakan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Arifin.
Menurut KH Machsun, dulu KH Hasyim Jalakan menimba ilmu di Pondok Pesantren Langitan. Saat di pesantren inilah KH Hasyim Jalakan bertemu dengan KH Hasyim Asyari. Hanya saja menurut cerita yang didapatkan, KH Hasyim Jalakan di Langitan adalah seniornya KH Hasyim Asyari.
''Jadi saat KH Hasyim Asyari masuk di Pesantren Langitan, KH Hasyim Jalakan itu sudah lurah pondok,'' jelasnya.
Lalu apakah dulu KH Hasyim juga pernah ke Pondok Kiai Kholil Bangkalan, KH Machsun mengaku hanya mengetahui bahwa dulu pernah di pesantren di Langitan.
Lalu bagaimana kehidupan KH Hasyim, diakui juga tidak pernah mengetahuinya. Sebab dulunya, ayahnya tidak penah menceritakan bagaimana perjuangan KH Hasyim. Hanya saja pernah mendapatkan cerita bahwa selama hidupnya, KH Hasyim adalah Kepala Penghulu di Bojonegoro.
''KH Hasyim juga dulu diangkar sebagai Imam Masjid Bojonegoro,'' jelasnya.
Selain itu juga, dulu KH Hasyim menjadi tempat jujukan tokoh-tokoh NU, seperti cerita yang dia dapatkan. Dulu KH Wahab Hasbullah juga pernah sowan ke KH Hasyim.
Yang saat itu, KH Usman ayahnya, adalah teman satu angkatan KH Wahab Hasbullah dan Kiai Asnawi Kudus saat berguru di Makkah. Saat itu KH Wahab keliling ke kiai di Jawa, salah satunya di KH Hasyim di Jalakan dan KH Usman di Cepu.
"Saat itu dalam rangka ukhuwah islamiyah,'' jelasnya.
Untuk peninggalan kitab dari KH Hasyim, diakui tidak memiliki satu pun. Bahkan kitab Tasrif Padangan dirinya tak punya. Sedangkan untuk peninggalan dari KH Hasyim hanya mendapatkan satu peninggalan.
''Peninggalan Mbah Hasyim ya lemari knocdown ini, lemari yang tidak pakai paku,'' ujarnya sembari menunjukan lemari besar berukuran kurang lebih lebar 2 meter dan tinggi 3 meter.
Tapi meski tidak mengetahui peninggalan lain dari kakeknya itu, diakuinya tahu bahwa peninggalan keilmuannya telah dimiliki banyak masyarakat pesantren di Jawa.
Seperti saat peringatan Haul KH Hasyim banyak peziarah yang datang. Salah satunya, peziarah dari santri KH Maimun Zubair, Sarang, Rembang. Santri dari Sarang itu banyak yang berziarah karena pesan KH Maimun, ilmu shorof yang dikaji oleh santri itu dikarang oleh KH Hasyim Jalakan. Selain itu, banyak juga dari Malang dan Sidoarjo dan lainnya.
Lalu nama lengkap KH Hasyim Jalakan sendiri, menurutnya adalah nama aslinya yakni Hasyim. Dan KH Hasyim meninggal pada 1942 yang saat itu menurutnya pada usia sekitar 90-an. (Fud/Ad)
Silakan baca Berita dan Artikel lainnya di Google News