MEMANGGIL.CO - Dalam budaya Jawa, pernikahan bukan sekadar menyatukan dua orang, tapi juga mengikuti berbagai aturan dan kepercayaan yang sudah ada sejak lama. Salah satunya adalah pantangan memilih hari atau bulan untuk menikah.

Mungkin terdengar sepele, tapi buat orang Jawa, pantangan-pantangan ini dianggap penting untuk diikuti. Yuk, kita intip beberapa pantangan yang masih dipercaya sampai sekarang dan apa makna di baliknya!

1. Bulan Suro dan Selo

Dalam tradisi Jawa, ada pantangan melangsungkan pernikahan pada bulan tertentu, yaitu bulan Suro (Muharram) dan bulan Selo (Dzul Qadah). Kedua bulan ini dianggap tidak baik untuk mengadakan hajatan besar, termasuk pernikahan.

Bulan Suro dianggap sebagai bulan sakral yang penuh mistis, terutama bagi mereka yang menganut Kejawen. Di bulan ini, banyak ritual dan laku spiritual yang dilakukan, seperti larung sesaji dan jamasan.

Mitos yang berkembang menyebutkan bahwa pada bulan Suro, Nyi Roro Kidul, sang penguasa Laut Selatan, sedang mengadakan hajatan besar, sehingga masyarakat Jawa menghindari mengadakan acara besar, termasuk pernikahan, untuk menghormati hal tersebut.

Sementara itu, bulan Selo dipandang sebagai bulan istirahat setelah perayaan besar di bulan Sawal dan sebelum persiapan hajatan di bulan Besar (Dzul Hijjah). Oleh karena itu, bulan Selo dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan, agar masyarakat tidak terus-menerus mengadakan pesta yang berdekatan.

2. Pernikahan pada Hari Kematian Leluhur (Nas e Mbah e)

Pantangan lain yang dipegang erat oleh masyarakat Jawa adalah menghindari hari kematian leluhur atau kakek/nenek (nas e mbah e) sebagai hari pernikahan. Misalnya, jika kakek dari mempelai pria meninggal pada hari Selasa Pon, maka hari tersebut harus dihindari sebagai hari pernikahan. Hal yang sama berlaku bagi pihak mempelai wanita.

Pantangan ini berakar dari penghormatan terhadap leluhur. Hari kematian seorang leluhur dianggap sebagai hari berkabung yang penuh dengan duka, sehingga tidak pantas digunakan sebagai hari perayaan dan kebahagiaan.

3. Pernikahan Bersamaan Antar Saudara

Pantangan berikutnya adalah larangan melangsungkan pernikahan secara bersamaan bagi dua saudara yang berjenis kelamin sama. Misalnya, dua saudara laki-laki atau dua saudara perempuan menikah pada hari yang sama dalam satu acara. Diyakini, melanggar pantangan ini dapat menyebabkan salah satu pasangan akan bercerai di kemudian hari.

Kisah yang pernah terjadi di sebuah dusun di Nglegok menyebutkan bahwa ketika dua saudara perempuan menikah bersamaan, salah satu pasangan akhirnya bercerai. Meski terdengar seperti mitos, pantangan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat Jawa zaman dahulu, terutama karena pada masa itu minim penerangan dan adanya kemungkinan salah masuk kamar jika kedua pasangan menikah bersama-sama.

Pantangan-pantangan ini mencerminkan bagaimana nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa masih sangat dihormati dalam prosesi pernikahan.

Meskipun saat ini sudah banyak yang tidak lagi mengikuti pantangan-pantangan ini secara ketat, sebagian besar masyarakat Jawa tetap menjaga tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan adat istiadat yang diwariskan.