MEMANGGIL.CO - Mitos larangan pernikahan antara suku Jawa dan Sunda telah lama tumbuh di masyarakat, konon berakar dari kisah tragis Perang Bubat.
Peristiwa ini dianggap sebagai titik awal munculnya pandangan bahwa pernikahan antara kedua suku tersebut bisa membawa ketidakberuntungan. Penasaran dengan asal usul mitos ini? Yuk, telusuri lebih lanjut kisahnya!
Akar Sejarah Mitos Larangan antara Suku Sunda dan Jawa
Kisah larangan pernikahan antara suku Sunda dan Jawa memiliki akar sejarah yang kuat dalam narasi Perang Bubat. Menurut beberapa versi sejarah, kisah ini bermula dari niat Raja Majapahit, Hayam Wuruk, untuk mempersunting Dyah Pitaloka, putri dari Kerajaan Sunda Galuh.Diceritakan bahwa ketertarikan Hayam Wuruk terhadap sang putri muncul setelah ia melihat lukisan Dyah Pitaloka yang dibawa oleh Sungging Prabangkara, seorang seniman berbakat.
Selain alasan personal, banyak pula yang berpendapat bahwa lamaran ini memiliki motif politik, yakni untuk mengikat Kerajaan Sunda, yang pada waktu itu merupakan salah satu kerajaan di Nusantara yang belum berhasil ditaklukkan oleh Majapahit.
Hayam Wuruk mengirimkan utusannya, Patih Madu, ke Kerajaan Sunda untuk menyampaikan lamaran secara resmi. Lamaran tersebut diterima oleh Raja Sunda dan Patih Madu kembali ke Majapahit dengan membawa kabar baik.
Setelah kabar tersebut diterima, rombongan Kerajaan Sunda pun berangkat menuju Majapahit, dengan membawa Dyah Pitaloka sebagai simbol perdamaian dan penghormatan terhadap Majapahit. Rombongan ini tiba di daerah Bubat, sebuah lapangan luas yang digunakan untuk persiapan penyambutan tamu kerajaan.
Setelah rombongan Kerajaan Sunda tiba, Lurah Bubat menyampaikan kabar kepada Raja Majapahit bahwa tamu mereka telah datang. Namun, di tengah persiapan penyambutan, muncul keberatan dari Gajah Mada, Patih Majapahit yang terkenal ambisius. Gajah Mada memandang pernikahan ini bukan hanya sebagai penyatuan dua kerajaan, tetapi juga sebagai kesempatan bagi Majapahit untuk menaklukkan Sunda.
Menurutnya, jika pernikahan ini tetap dilaksanakan, maka Kerajaan Sunda harus menyerah tanpa syarat kepada Majapahit. Pandangan Gajah Mada ini berbeda dengan niat awal Hayam Wuruk yang hanya menginginkan pernikahan tanpa ada tuntutan politik.
Namun, ambisi Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara melalui sumpah "Palapa" mendorongnya untuk memaksa Kerajaan Sunda tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Tuntutan tersebut langsung ditolak oleh Raja Sunda, yang merasa terhina oleh permintaan itu. Akibatnya, terjadilah pertempuran antara pasukan Majapahit dan Kerajaan Sunda di lapangan Bubat.
Pasukan Kerajaan Sunda, yang datang tanpa persiapan pasukan karena niat mereka adalah menghadiri pernikahan, akhirnya kalah dalam pertempuran. Raja Sunda gugur dalam pertempuran tersebut, sementara Dyah Pitaloka, ibunya dan istri-istri para menteri melakukan ritual bunuh diri sebagai bentuk kehormatan keluarga kerajaan yang telah dinodai.
Tragedi ini kemudian dikenal sebagai Perang Bubat, dan menjadi salah satu peristiwa yang memicu ketegangan hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit.
Setelah peristiwa itu, Hayam Wuruk dikabarkan sangat marah dengan tindakan Gajah Mada, yang dianggap telah melanggar etika politik dan perjanjian yang telah disepakati. Sebagai akibat dari tindakannya, Gajah Mada kemudian diasingkan dari istana Majapahit.
Di sisi lain, tragedi ini juga memberikan dampak mendalam bagi Kerajaan Sunda. Adik Dyah Pitaloka, yang tidak ikut serta dalam rombongan ke Majapahit, naik takhta menggantikan kakaknya dan ayahnya yang gugur dalam Perang Bubat. Ia mengeluarkan sebuah wejangan yang berbunyi esti larangan ti kaluaran, yang kemudian diartikan oleh masyarakat Sunda sebagai larangan menikah dengan orang di luar suku Sunda, termasuk suku Jawa.
Tradisi larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa ini berkembang menjadi kepercayaan yang menyatakan bahwa pernikahan antara kedua suku tersebut akan membawa ketidakbahagiaan.
Namun, dalam perspektif modern, pernikahan antara orang Sunda dan Jawa tidak lagi dianggap tabu. Banyak pasangan dari kedua suku tersebut yang berhasil membangun rumah tangga yang harmonis.