MEMANGGIL.CO - Sebuah manuskrip kuno berbahan lontar peninggalan bersejarah pada abad ke-16 dari putra Sultan Pajang Hadi Widjaja atau Jaka Tingkir yang bernama Raden Djati Koesoema, tersimpan apik di Blora, Jawa Tengah. Jumlahnya ada 53 lembar, dengan ukuran 19 x 35 centimeter, dan tampak sudah usang.

Menurut RNgt Widyasintha Himayanti, manuskrip kuno tersebut saat ini dimiliki keluarga Raden Tedjonoto Koesoemaningrat yang diwariskan turun-temurun dan disimpan oleh keturunannya.

"Huruf yang tertulis dalam lontar peninggalan abad ke 16 ini aksara jawa kawi dan belum bisa diartikan," kata Widyasintha kepada wartawan media ini, ditulis ulang pada Jumat (07/04/2023).

Sebagai salah satu keturunan dari Bupati Blora tempo dulu, lanjutnya, pihak keluarga seringkali didatangi beberapa orang yang ingin mencoba menerjemahkan manuskrip tersebut.

"Dulu sih banyak yang mencoba mengartikan lontar ini. Ngomongnya sih bisa, tapi setelah tau lontarnya ya nggak bisa," kata Widyasintha.

Sebagai salah satu alumni Universitas Negeri Solo, sejarawan muda ini mengaku tidak bisa mengartikan aksara jawa kawi di naskah lontar yang dimiliki keluarganya.

Menurut Widyasintha, dari beberapa peninggalan pangeran Djati Koesoema, hanya lontar ini yang diberikan kepada Raden Tedjonoto.

"Sesuai kondisi dan kemampuan leluhur pada masa itu menulis, menunjukkan Pangeran Djati Koesoema di abad itu mewariskan bentuk naskah manuskrip agar bisa diketahui sejarahnya. Dulu belum ada kertas, menulisnya memakai lontar," pungkasnya.

Putra Jaka Tingkir di Blora

Singkat cerita, zaman dulu di Blora ada pangeran bersaudara, putera dari Sultan Pajang Hadi Widjaja (Jaka Tingkir) yang sedang mengembara. Mereka adalah Raden Djati Koesoema dan Raden Djati Swara.

Dikisahkan, mereka mengembara untuk mencari pusaka Pajang yang hilang kemudian meninggal dan di makamkan di Blora. Makam mereka terkenal akan sebutan 'Punden Janjang' yang terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken.

Untuk menuju lokasi makam tersebut cukup mudah, bisa dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Banyak masyarakat Blora yang mengetahui lokasi keberadaan makam yang setiap tahunnya di area tersebut diadakan upacara sedekah bumi.

Upacara itu dilaksanakan setiap habis panen, tepatnya pada Jumat Pon. Di samping itu, di makam tersebut juga sering digunakan sebagai tempat ngalab berkah (mencari barokah) dengan acara mementaskan pertunjukan 3 wayang Kroetjil (Krucil) peninggalan Raden Djati Koesoema.

Makam Raden Djati Koesoema dan Raden Djati Swara dulunya sering digunakan sebagai sarana melakukan peradilan tradisional yang dikenal dengan istilah 'Sumpah Janjang'. Acara tersebut biasanya dilakukan dalam rangka mencari kebenaran yang sudah tidak bisa dilakukan dengan jalan lain.

Dengan dilakukannya 'Sumpah Janjang' dalam waktu yang tidak terlalu lama kebenaran pasti akan segera terungkap, paling lama dalam jangka waktu tiga bulan. Hal ini sebagaimana pepatah Jawa yang berbunyi 'becik ketitik, ala ketara (yang baik akan diketahui, yang jelek pun akan kelihatan)'.